Senin, 06 Oktober 2014

Naskah Monolog "INGGIT" karya Ahda Imran


              
                                                              INGGIT
                                                      
                                                      (Sebuah monolog)
                                                      
                                                        ---Ahda Imran

SATU: Panggung Redup
(Intro) Musik kecapi suling, sayup-sayup. Inggit berada dalam kamar yang tampak berantakan. Sebuah tempolong tergelak di lantai karena dilemparkan. Wajah Inggit dingin, rambutnya tergerai.  Ia memasukkan satu persatu pakaiannya ke dalam kopor.  Lalu terdengar suara seseorang seperti membacakan dongeng.

Ningrum Kusuma begitu nama puteri itu. Ia dipanggil juga dengan nama Kusumaningrum. Begitu mula cerita. Ia seorang puteri yang cantik, luhur budinya, amat dicintai oleh seluruh penghuni istana dan dicintai rakyatnya. Ia pun amat setia pada suaminya,  seorang raja yang bijaksana. Ketika suatu kali suaminya menaklukkan negeri lain, negeri taklukkan itu mempersembahkan seorang putri kepada suaminya sebagai persembahan. Seorang putri cantik bernama Jembawati. Karena putri itu masih teramat muda, maka ia diserahkan pada Kusumaningrum untuk diasuh. Dan sebagai ratu, Kusumaningrum mengasuh dan mendidiknya dengan baik layaknya seorang kakak pada adiknya. Jembawati pun tumbuh menjadi gadis yang cantik, dan diam-diam ia mulai melemparkan senyum dan kerling mata pada raja.
Raja tergoda dan berterus terang pada Kusumaningrum untuk menikahi Jembawati. Meski sangat sakit hati, tapi Ratu Ningrum hanya bisa menyerah pada takdir. Perempuan yang diasuhnya kini merebut suaminya. Tapi Ratu Ningrum tidak membenci. Sebagai istri yang setia ia harus berkorban demi kebahagian suaminya untuk mendapat kepuasan dari Jembawati. Tapi kebaikan Ratu Ningrum dibalas Jembawati dengan kebusukkan. Ia memfitnah Ratu Ningrum sampai ia dibuang oleh raja. Raja yang bertekuk di bawah kaki Jembawati yang jahat akhirnya membuat negara itu hancur”
                                                           
                                                         INGGIT
                             ( terus memasukkan pakaian ke dalam kopor)

Sudah kuduga, kalian pasti akan menyebut Jembawati itu perempuan yang tidak tahu diuntung. Anak seorang taklukkan yang dinaikkan derajatnya oleh Ratu Ningrum, tapi dia malah menikam. Dia membalas budi baik dengan kejahatan. Tapi buatku ini bukan soal siapa yang salah dan siapa yang kaliang anggap benar. Kalian bayangkan, seorang gadis muda memandang seorang lelaki yang gagah, elok parasnya, berkuasa, dan pandai.  Anak dara itu pun tahu benar jika dia cantik. Dan sebagaimana kodratnya perempuan, dia faham benar apa yang paling disukai lelaki dan bagaimana melumpuhkannya. Senyum dan kerling mata. Anak dara mana yang tak akan memberikan itu semua pada lelaki elok rupa seperti Raja. Dan lelaki mana yang bisa memalingkan wajahnya dari anak dara secantik dia? Apalagi dia seorang Raja. Nah, apakah kau akan tetap mengatakan bahwa dia salah tanpa apapun yang membuatnya melakukan perbuatan yang salah? Tak ada salah tanpa musabab.      

Aku lebih suka mengatakan bahwa yang bersalah itu adalah Ratu Ningrum. Setidaknya dia bukanlah perempuan yang meski dikasihani benar. Kau tahu, kesalahan Ratu Ningrum adalah ia tak memiliki satu kata, yaitu, “Tidak”. Karena ia tidak mempunyai kata itu, maka ia biarkan Raja menikahi Jembawati. Karena ia tidak mempunyai kata itu, dia biarkan suaminya dikuasai oleh Jembawati.
Entah siapa yang mengajarinya bahwa perempuan ditakdirkan untuk tidak memiliki kata “Tidak”. Entah siapa yang mengajarinya bahwa kata itu hanya milik para lelaki. Takdir perempuan diatur oleh takdir para lelaki. Takdir yang mengatur kata mana yang boleh dan tidak boleh dimiliki oleh perempuan. (Lampu Redup)  

DUA: Panggung terang. Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan. Memakai pakaian ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari ronggeng. Musik sayup.

Kerling mataku gerak kelopak air sungai.
Kubiarkan para lelaki terapung-apung di atasnya.
Mereka seperti sekumpulan abdi yang berbaris dan memberi sembah,
lalu berjalan satu persatu ke hadapanku membawa persembahan.
Tanpa kuinginkan, kerling mata, senyum, dan tubuhku
telah menjelma pusaran air yang menghisap. Dalam tubuku
seolah ada mahluk lain yang membuat semua orang menyayangiku.

Jika kecantikan memberi perempuan dua pilihan, antara anugerah
dan kutukan, maka aku bukanlah kutukan itu. Kecantikan telah mengantarkanku
menemukan diriku sebagai perempuan dengan kaki yang lebih kukuh.
Kecantikan telah membuat para lelaki dan semua orang menjadi tawanan
dan taklukkanku.  

Aku lahir di Banjaran, di Desa Kamasan. Sejak kecil aku hidup dengan pertanyaan, mengapa semua orang menyayangiku? Akhirnya, aku menemukan jawabannya sebagai sesuatu yang tetap tak terkatakan. Pindah ke Bandung, satu-satunya yang kuketahui, di mana pun aku berada, terlebih di tengah keramaian orang-orang berebut mengungkapkan rasa sayangnya padaku. Duhai, aku dilimpahi berbagai hadiah dan uang. Di pasar dan di alun-alun, aku selalu menemukan orang-orang yang memberiku persembahan. Uang, oleh-oleh, atau sekadar ketakjuban mereka padaku.

Lalu uang seringgit pun bukan lagi hanya uang ketika aku selalu menerimanya sebagai persembahan. Ah, menggelikan sekali cara mereka memberikan uang itu. Selalu saja diam-diam. Malah, kau tahu, ada yang memberikannya dengan cara melemparkan sepotong pecahan genting dengan ikatan uang seringgit. Bahkan aku masih terus menerima pemberian mereka meski aku sudah menjadi istri seorang Kopral Residen, Kang Nataatmadja.

Kau pasti akan bilang, sangat tidak pantas seorang istri menerima pemberian dari lelaki lain selain suaminya. Itu benar. Tapi siapakah yang bisa mencegah orang untuk menyayangiku dan mengungkapkan rasa sayangnya?

Lama kelamaan aku dikenal dengan sebutan “Seringgit”. Hmmm...kalau kalian mengira panggilan itu sebagai sebuah harga untuk mendapatkan perhatianku, maka itu tidaklah seperti yang kalian pikirkan. Ada yang lebih dari sekadar uang dalam hidup ini, begitu pula dalam cara setiap orang mengagumi. Aku menerima dan tidak terganggu dengan panggilan itu, sampai lalu nama “Seringgit” menjadi “Inggit”, dan aku suka dengan nama itu. Terdengar manis, “Inggit”. 

Sebelum aku menikah dengan Kang Nata, aku sudah berkasih-kasihan dengan Kang Sanusi. Kang Uci, begitu aku memanggilnya. Dia orang yang cukup kaya di Bandung. Dia pengurus Sarekat Islam di Bandung.

Ah, Sungai Cikapundung adalah kenangan manisku dengan Kang Uci. Jika aku sedang mandi, dari arah mudik Kang Uci sering menghanyutkan tempurung buah maja yang diikat dengan benang. Tempurung itu hanyut dan terapung-apung ke tempat aku mandi. Di dalam tempurung itu aku menemukan pecahan uang logam...

Tapi, tiba-tiba Kang Uci dijodohkan. Aku tidak tahu apakah Kang Uci menerima perjodohan itu karena memang terpaksa atau tidak, yang jelas aku ditinggalkan dan merasa sakit hati. Sakit hati itulah yang aku tumpahkan dengan menerima lamaran Kang Nata.

Ya, jahat sekali aku ketika itu. Menerima Kang Nata bukan dengan cinta, tapi hanya memanfaatkannya untuk meluapkan dan sekaligus melupakan Kang Uci. Karena aku memang tidak pernah bisa mencintai Kang Nata, maka perkawinan kami hanya sebentar. Kami bercerai, dan kiranya Kang Uci pun sudah bercerai dari istrinya. Cinta kami yang lama tumbuh lagi dan akhirnya kami kawin.
Di tengah perkawinanku dengan Kang Uci itulah Kusno muncul...(Lampu Redup)

TIGA: Inggit memakai kebaya. Wajahnya segar. Ia menggenggam bunga cempaka kuning.  

(Tersenyum menerawang). Kusno bilang, “Sekuntum bunga merah yang elok melekat di sanggulnya”. Begitu dia menceritakan awal pertemuan kami dulu di Bandung. Entah kenapa dia mengatakan bunga itu warna merah, padahal bunga itu warnanya  kuning.

Ada surat dari Surabaya, dari Pak Tjokroaminito untuk suamiku Kang Uci. Dalam surat itu Pak Tjokro minta tolong agar suamiku mencarikan pemondokan untuk menantunya yang akan bersekolah di Bandung, di THS. Kami lantas berpikir tentang pemondokan itu, tapi tetap tidak ada. Semua pemondokan di Bandung sudah penuh. Ada juga pemondokan yang kosong, tapi sudah reyot dan tidak pantas rasanya untuk seorang student. Apa nanti kata Pak Tjokro, menantunya kami tempatkan di pemondokan semacam itu.

Tiba-tiba saja Kang Uci mengatakan tak ada salahnya jika menantu Pak Tjokro itu kami tempatkan di kamar depan rumah kami saja. Aku keberatan, tapi Kang Uci bersikeras. Lagi pula adanya student di rumah kami bisa membuat kami bangga. Akhirnya aku mengalah. Dia akan tinggal di rumah kami.

Kang Uci, mengapa akang memintaku mengalah?
Duhai, siapakah yang membawa takdir itu
ke dalam rumah kita...  (Lampu redup)

                                               

INGGIT DUDUK SAMBIL MENJAHIT KUTANG. MEMAKAI KEBAYA DAN SANGGUL DENGAN SUNTINGAN BUNGA CEMPAKA KUNING.

Kusno, menantu Pak Tjokro, lelaki yang kelak kalian kenal dengan Bung Karno  itu akhirnya datang. Kang Uci menjemputnya ke stasiun Bandung. Anak muda yang pesolek. Memakai pakaian putih-putih. Ia mengenakan peci kebanggaannya. Peci yang disebutnya sebagai lambang semangat kaum pribumi. Sorot matanya tajam penuh semangat yang bergelora, tapi sangat menyejukkan.

Aku pernah dulu melihatnya ketika Kang Uci membawaku ke Surabaya menghadiri rapat Sarekat Islam. Di situ aku melihat menantu Pak Tjokro itu berpidato. Dengan suaranya yang menggeledek, pandai sekali ia membuat semua orang terpana. Ia menyeru untuk berkata “Tidak” pada kolonialisme.

Kusno itu anak muda yang menyenangkan. Dengan logat Jawa-nya dia pandai benar bergaul dan tidak ingin dilayani berlebihan. Tambahan lagi, dia pemuda yang hangat dan periang. Beda benar dengan Kang Uci yang pendiam.

Tak usah cari tempat lain. Saya senang tinggal di sini. Saya mau di sini saja.
Begitu katanya ketika Kang Uci menjelaskan padanya tentang pemondokan yang lain. Dia mengatakannya sambil memandang ke arahku.

Kedatangan Kusno telah mengubah suasana rumah kami. Apalagi namanya sudah mulai dikenal di tengah kaum pergerakan, dan Kusno pandai sekali bergaul dengan kaum student yang ada di Bandung. Rumah kami jadi ramai dengan kedatangan teman-teman Kusno.

Mereka bercakap-cakap membicarakan banyak hal tentang kaum pergerakan dan politik. Dan di tengah percakapan itu kulihat Kusno sangat menonjol dan disegani. Mungkin orang bisa memakluminya. Bukan karena dia menantu Pak Tjokro, tapi juga murid kesayangannya. Aku sering melihat bagaimana teman-temannya memandang ke arah Kusno dengan kagum ketika ia menjelaskan pandangan dan pikirannya. Ia begitu yakin dengan kata-katanya. Kurasa itulah yang membuat kata-katanya seperti sebuah sihir.

Kedatangan para student ke rumah kami tentu saja membuat aku selalu sibuk melayani mereka. Menyediakan minuman dan makanan. Tapi aku merasa senang melakukannya. Rumah kami tidak lagi sepi seperti dulu. Kini rumah kami dipenuhi oleh para student yang penuh gairah.

Tapi ke manakah suamiku, Kang Uci? Suamiku seperti sengaja menjauh dari para student itu. Walaupun Kang Uci pengurus Sarekat Islam, kulihat Kang Uci tidak begitu bergairah untuk bergabung ke dalam percakapan mereka.

Mungkin karena usianya yang sudah sepuh, Kang Uci lebih memilih kesibukannya sendiri. Bahkan sejak kedatangan Kusno,  Kang Uci hanya sesekali bercakap-cakap dengan pemuda itu. Jarang sekali ia mau berlama-lama berbicara dengan Kusno.  Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke tempat bilyar. Aku pun menjadi jarang bertemu dengan suamiku itu.

Tiba-tiba sebuah jurang seperti mulai menganga di antara kami...(Lampu Redup)

EMPAT: Inggit membenahi piring dan cangkir-cangkir kopi di atas meja bekas, sisa dari sebuah pertemuan. Lalu duduk kembali sambil membersihkan peci atau membuat kopi tubruk.

Berganti hari dan pekan Kusno makin menjadi bagian dari rumah kami. Bahkan kian menjadi bagian dari kesibukanku. Tapi aku senang melakukannya, termasuk menyiapkan kopi tubruk kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke sekolah. Suatu hari Kusno kembali ke Surabaya menjemput Utari istrinya dan membawanya ke Bandung, tinggal bersama kami. Usia Utari masih 16 tahun dan mereka kelihatan seperti dua kakak beradik ketimbang sebagai suami istri.

Suatu malam di tengah rumah ketika kami hanya berdua saja, Kusno bercerita padaku tentang pernikahannya dengan Utari. Kusno bilang, ia menikahi Utari tak lebih karena rasa hormatnya pada Pak Tjokro. Guru yang sudah menjadi orang tuanya sendiri. Karena itulah sayangnya pada Utari adalah sayang seorang kakak pada adiknya. Bukan rasa cinta suami pada istrinya.

Kami berdua tidur seranjang, dan hanya tidur berdampingan. Meski secara hukum dia istriku tapi aku merasa bahwa aku sedang tidur berdampingan dengan adikku

Begitu dia bilang. Seperti kalian, aku pun bisa saja tak percaya. Bisakah seorang pemuda 20 tahunan tidak muncul birahinya tidur seranjang saban malam dengan seorang dara 16 tahun, dan itu adalah istrinya? Apakah perasaannya sebagai kakak bisa mengalahkan kodrat birahinya sebagai lelaki? (Tersenyum-senyum) Aku tahu birahi lelaki, apalagi lelaki seusia Kusno.

Tapi, kau tahu, bukan pertanyaan itu yang kupikirkan. Tapi mengapa ia menceritakannya hal semacam itu padaku? Mengapa pada aku Kusno bercerita tentang persoalan perkawinannya seolah-olah ia sudah begitu dekat denganku? 

Mungkin begitulah cara lelaki, membuka dan mengeluhkan kehidupan pribadinya pada seorang perempuan untuk memulai sebuah hubungan yang diinginkannya. Dengan bercerita semacam itu ia seolah-olah sedang memberi kepercayaan dan kehormatan pada perempuan itu, sehingga perempuan itu merasa tersanjung.

(Pada penonton perempuan) Karena itu hati-hatilah jika ada lelaki yang tiba-tiba saja bercerita dan mengeluh padamu tentang kehidupan pribadinya. Apalagi tentang istri atau kekasihnya. 

Ah, tidak, mungkin aku berlebihan menilai diriku. Siapalah aku,  dan Kusno juga tahu kalau aku istri Kang Uci. Mungkin saja benar dia butuh orang yang mau mendengar keluhannya. Sebagai student dan orang pergerakan, Kusno tentu tidak mungkin menceritakan hal semacam itu pada sembarang orang.

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku hanya bisa merasakan bagaimana sebuah perkawinan yang bukan karena rasa cinta. Tapi kukatakan juga pada Kusno agar ia memperbaiki hubungannya dengan Utari. 

Dan seperti kuduga, hal itu tidak mungkin. Sekali lagi, aku mengerti bagaimana sebuah perkawinan tanpa rasa cinta. Dan akhirnya, Kusno memang menceraikan Utari. Membawanya kembali ke Surabaya, mengembalikannya pada Pak Tjokro. Aku bersyukur semuanya terjadi secara baik-baik.

Sejak saat itu pelan-pelan seperti ada jarak yang terurai antara aku dan Kusno. Banyak malam kami habiskan bercakap-cakap berdua di tengah rumah. Dan kau tentu tahu, malam adalah ruang di mana suara bisa menggema ke dasar yang tak pernah diduga.

Aku pun mulai menyelam ke dalam diri Kusno. Mulai menemukan banyak ruang dalam dirinya yang tak diketahui semua orang. Anak muda yang bergelora. Singa podium yang menggetarkan semua orang. Tapi ketika ia masuk kembali ke dalam dirinya, ia seolah tak menemukan siapa pun. Ia hanya bisa berbicara sendiri dengan bayangan dirinya. Bayangan yang pelan-pelan mencekik lehernya..

Lalu apakah ia menemukan aku sebagai orang yang telah melepaskan cekikan itu?  Entahlah. Yang terang banyak sekali ia bercerita padaku. Tentang cita-citanya, dunia pergerakan, teman-temannya, atau tentang teguran para profesornya agar ia lebih memperhatikan sekolahnya dan berhenti mengurusi politik.   
Pulang dari mana pun atau apapun peristiwa yang dialaminya, ia akan selalu menceritakannya padaku, seperti seorang anak yang bercerita pada ibunya sepulang ia bermain.

Pelan-pelan aku pun mulai menemukan sesuatu yang genting dalam perasaanku. Sesuatu yang semestinya cepat kubuang. Tapi nyatanya, ketika suatu malam Kusno mengatakan bahwa ia menyukaiku, aku tak bisa menyangkal perasaan itu. Juga dalam kegentingan yang lain, ketika di malam yang lain Kusno memerlukan apa yang lebih dari sekadar kata-kata. Ketika tubuh kami tak bisa lagi saling menyangkal. Aku pasrah...

Duhai, lelaki penggelisah, masuklah ke dalam tubuhku
Biar kuhirup nafas dan bau tubuhmu. Kita adalah keindahan
sekaligus kejahatan.

Kang Uci, akang di mana?
Akang dengar nafas kami memburu?
Lelaki yang dulu akang bawa  ke dalam rumah kita,
kini aku membawanya ke dalam tubuhku... (Lampu redup)

Inggit duduk di tepi ranjang. Wajahnya campuran dari penyesalan dan kebahagiaan

Mudah kuduga, apa yang sedang kau pikirkan tentang diriku. Seorang ibu kost yang kesepian yang tidur dengan seorang pemuda, hanya karena suaminya sudah tua dan jarang di rumah. Seorang istri yang tidur dengan lelaki lain selalu dianggap lebih hina ketimbang sebaliknya.

Jika aku menjadi salah seorang dari kalian, aku pun akan mengatakan hal yang sama. Kita memang selalu memaafkan tubuh lelaki. Memakluminya, karena merekalah yang mengatur moral tubuh perempuan, dan moral itu sering tak berlaku bagi tubuhnya.

Jangan kau sebut aku tak menyesal. Aku telah berbuat serong, bukan hanya perasaan dan hatiku, tapi juga aku telah berzinah. Aku tak akan pernah membela diri dengan mengatakan semua ini tak akan pernah terjadi seandainya Kang Uci menolongku. Tidak membiarkan perasaanku terus tumbuh terhadap Kusno. Tidak membiarkan kami terus berduaan sepanjang malam. Tidak membiarkan aku terus melayaninya setiap hari.
Tidak. Aku tak akan pernah berdalih seperti itu.

Kusno lantas mengajakku bicara. Ia mencintaiku dan ingin mengawiniku. Ia akan memintaku pada Kang Uci. Ya, Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi di antara kami di rumah ini. Kau bayangkan, bagaimana mungkin seorang lelaki mencintai istri orang lain bahkan memintanya? Aku bisa merasakan bagaimana sakitnya Kang Uci. Terlebih lagi ketika ia tahu bahwa aku pun menyayangi Kusno dan bersedia bercerai dengan Kang Uci agar kami bisa menikah.

Lalu kalian membaca dalam banyak riwayat tentang kami, bagaimana Kang Uci dengan ikhlas mengalah. Menceraikan dan menyerahkanku pada Kusno. Kang Uci melakukakannya sebagai sebuah pengorbanan demi masa depan Kusno yang kelak akan menjadi pemimpin tanah air.

Benarkah begitu? Benarkah Kang Uci tulus melepaskan aku dan menyerahkannya pada Kusno, laki-laki yang telah berbuat serong dengan istrinya? Apakah sebodoh itu dia melakukan pengorbanan? Bukankah aku dan Kusno sudah menghina harga dirinya sebagai lelaki dan seorang suami?

Jika kau bertanya seperti itu padaku, aku tak bisa menjawabnya. Satu hal yang terang, aku dan Kusno telah menyakitinya. Dan Kang Uci tentu sangat merasakannya.  Tapi satu hal yang lain, aku juga tak bisa lagi menyangkal bahwa aku mencintai dan menyayangi Kusno. Begitu besar cinta dan sayangku pada Kusno sehingga aku rela mengotori tubuh dan harga diriku sebagai perempuan dan seorang istri.   

Entah apa dan bagaimana suasana pembicaraan Kusno dan Kang Uci. Semua lalu terjadi. Kang Uci menceraikanku baik-baik, dan setelah masa idah aku menikah dengan Kusno. (Lampu Redup)

LIMA: Ingit meracik jamu atau membuat bedak.  Di dekatnya juga terdapat beberapa lembar kutang yang belum dikerjakan. Ada juga meja kecil dengan teko kopi di atasnya, atau bisa juga beberapa cangkir bekas-bekas percakapan sejumlah orang.   

Suamiku yang sekarang bukanlah seperti dua suamiku sebelumnya. Ia hanya seorang student.  Anak muda dengan cita-cita besar memimpin rakyat membebaskan tanah air dari penjajahan. Aku memaklumi benar hal itu. Ia seseorang yang berjuang menyediakan seluruh diri dan waktunya untuk masa depan bangsa dan tanah airnya. Dan demi hal itulah aku bekerja mencukupi kehidupan kami.  

Padahal ini adalah tahun yang berat. Tapi aku selalu mencari akal untuk menutupi semua kebutuhan. Syukurlah selalu ada saja rejeki. Untuk makan, menjamu teman-teman Kusno yang hari setiap hari berdatangan, atau untuk uang saku suamiku jika ia berpergian menemui teman-teman pergerakan. Ke rumah Dr. Tjipto, Douwes Dekker, atau ke rumah Sosrokartono.

Aku membangunkannya, menyediakan kopi tubruk dan sarapan, menjadi nyonya rumah dan pelayan kalau teman-temannya berdatangan, mendengar semua cerita dan keluhannya, dan memuaskannya. Selepas itu aku harus bekerja agar kami bisa tetap bisa bertahan.

Setelah menjadi istri Kusno, aku makin jauh mengerti siapa suamiku. Singa podium itu tetaplah seorang lelaki. Anak muda yang selalu padaku minta disayang dan dimanja. Di dengar cerita dan keluhannya. Aku tahu benar bagaimana memuaskan dan menenangkannya.

Aku memang bukan perempuan student dan orang pergerakkan seperti Suwarsih Djojopuspito atau Suwarni, perempuan yang pernah berdebat dengan Kusno dalam sebuah rapat pemuda. Atau orang yang punya cukup pengetahuan tentang politik, pintar ngomong Belanda dengan setumpuk buku di rumahnya. Tapi dari cara Kusno menyayangiku, rasanya aku mulai tahu bahwa tak semua yang diperlukannya ada di dalam buku atau di antara student.        

Pelan-pelan aku mengerti hal itu. Dan itulah yang kuberikan padanya dengan sebaik-baiknya memberikan semua yang dibutuhkannya. Dengan menjadi istri Kusno barulah aku mengerti, bahwa mencintai itu adalah melayani. Menjadi pelayan dari orang yang kita sayangi.    

Tapi Kusno tak lantas menjadi seorang Tuan. Ia seorang lelaki yang lembut dan amat menghargaiku. Ia tahu perbedaan di antara kami, usiaku yang lebih tua dan pendidikannya yang lebih tinggi. Ia pernah bilang, bahwa seseorang bukan dinilai dari pendidikan, intelek, atau  keluasan pengetahuannya, tapi dari budi kasihnya sebagai seorang manusia.

Menjadi istri Kusno bagiku adalah hidup bersama seorang lelaki yang selalu digelisahkan oleh nasib bangsa dan tanah airnya. Dan aku berada di dalam kegelisahan itu. Menjaga dan merawat semangatnya. Bukan sekali dua kali ia jadi beringasan seperti ombak laut yang mengamuk, sehingga aku harus menenangkannya.
Student dan orang-orang pergerakan sudah lama mengenal namanya. Murid kesayangan Ketua Sarekat Islam Tjokroaminoto. Seperti gurunya, Kusno tak hanya pandai berdebat, tapi juga radikal dan penuh keberanian. Karena itulah tak aneh jika profesornya di THS sering mengingatkan Kusno bahwa ia harus menjauhi politik jika ia ingin jadi insinyur.

Bukan sekali dua kali pidatonya dalam rapat-rapat umum jadi perhatian polisi. Bukan sekali dua kali juga kami diawasi dan dibuntuti oleh para cecunguk spion polisi. Tulisan-tulisan Kusno di beberapa surat kabar juga begitu, radikal dan selalu menyeru setiap orang untuk berani mengatakan “Tidak” pada kolonialisme.  

Apakah aku takut bersuamikan orang seperti Kusno? Tidak. Aku sama sekali tak gentar karena tahu siapa yang kudampingi dan apa yang diperjuangkannya. Aku sudah larut ke dalam darah Kusno. Seperti aku menyatu dengan tubuhnya, semangatku pun sudah bersatu dengan semangat suamiku. Meski aku hanya menjadi istri yang melayani semua kebutuhannya.

Ke mana pun kami pergi mengunjungi kerabatku, tak lain yang dibicarakan Kusno pada semua orang kecuali nasib bangsa dan kejamnya para penjajah yang menghisap dan menindas. Tak ada kesempatan yang dilewatkannya untuk menggugah kesadaran orang agar sadar pada nasib tanah air, bersatu mengatakan “Tidak” pada penjajah. Dan aku selalu berada di samping Kusno, menjelaskan apa yang dikatakannya pada mereka dengan bahasa Sunda.

Suatu hari, suamiku itu pulang dengan wajah yang gembira. Dengan tak sabar ia bercerita padaku tentang pertemuannya dengan seorang petani bernama Marhaen. Petani kecil tapi hidupnya tak bergantung pada orang lain. Ia hampir berteriak mengatakan inilah yang dicarinya tentang sosialisme Indonesia yang sebenarnya. Aku mendengar semua ceritanya, ikut larut dalam semangatnya (Lampu Redup)

Inggit di beranda rumah. Menatap kejauhan. Hari cerah.

Akhirnya Kusno bisa lulus dari THS, jadi insinyur. Kukatakan akhirnya, karena selama ini ia sekolah dengan pikiran bercabang, berjuang untuk tanah airnya. Ah, Tentu saja aku ikut senang dan bangga. Aku telah menyertainya dan semua yang kuperbuat agar ia ingat pada sekolahnya tidaklah sia-sia.
Setelah Kusno menjadi insinyur semestinya keadaan kami berubah. Tapi aku tahu kemana akhirnya pilihan suamiku itu. Bersama temannya Anwari,  ia pernah membuka biro teknik. Menyewa kantor di  alun-alun. Tapi tak ada pernah ia sekali pun membicarakan persoalan pekerjaannya. Selalu urusan politik. Pikiran dan dunianya tak bisa lepas dari perjuangan memikirkan nasib bangsanya.

Apalagi ketika itu keadaan politik sedang gawat. Serekat Islam yang dipimpin Pak Tjokro pecah menjadi dua. Orang-orang komunis mengadakan pemberontakan di Banten, Ciamis, da Sumatera Barat. Pemberontakan itu gagal dan membuat keadaan jadi genting. Banyak terjadi penangkapan yang merembet ke mana-mana. Pemerintah semakin menekan orang-orang pergerakkan.

Kau mungkin akan berpikir, dalam situasi gawat itu semestinya Kusno lebih memperhatikan pekerjaannya di kantor biro teknik ketimbang mengurusi politik yang bisa-bisa membuatnya ditangkap. Tapi, kau tahu,  suamiku itu malah meninggalkan pekerjaannya dan mencurahkan semua perhatiannya pada politik. Apalagi sekarang ia tak perlu memikirkan pelajaran sekolahnya seperti dulu. Tak ada lagi hal yang harus dipikirkan suamiku sekarang  politik, demi cita-citanya memimpin rakyat menuju kebebasan. 

Dan itu artinya aku belum berhenti bekerja menghidupi kebutuhan kami. Tapi tak apa. Aku senang melakukannya. Aku akan selalu berada di samping suamiku. Menjaga, merawat, dan melayani tubuh dan semangatnya.

Dalam situasi itulah suamiku tak ubahnya laut yang tak pernah diam. Ia terus bergelora. Ia ingin mendidik semangat semua orang. Aku menyertainya ke mana pun. Kota Bandung di kelilinginya, juga Ujungberung, 
 Lembang, Cimahi, Padalarang, Yogja, Garut, Semarang, Surabaya, Jakarta, dan banyak tempat di berbagai daerah yang kami datangi.  Ia berpidato dan terus berpidato.

Rumah kami juga telah berubah menjadi rumah bersama bagi para aktivis pergerakan. Berkumpul dan berdebat. Dalam perdebatan itulah Kusno seringkali menjadi begitu radikal. Keinginannya adalah Indonesia merdeka sekarang juga! Tak sedikit mereka yang tidak setuju karena menganggap rakyat belum siap, dan itu membuat suasana jadi tegang. Kalau suasana seperti itu aku sering cemas timbul perpecahan di antara mereka.

Ayo diminum teh dan kopinya, ini kuenya, siapa mau tambah lagi minumnya, mumpung airnya masih panas?

Di rumah kami, mereka juga membicarakan berbagai kejadian. Kongres anti kolonialisme di Brussel yang dihadiri oleh perwakilan Indonesia, penangkapan Mohammad Hatta dan para mahasiswa Indonesia di Belanda, atau peristiwa Sumpah Pemuda. Semua itu membuat Kusno semakin yakin bahwa persatuan Indonesia itu bisa dibangun.   

Bersama Kusno, aku hanyalah seorang perempuan yang tak mengambil peran apapun. Tapi aku larut ke dalamnya, ke dalam bagian paling penting dari sejarah negeri ini. Aku mengenal dan menggagumi semangat mereka. Syahrir, anak muda yang pintar dan sering datang ke rumah kami, Dr. Tjipto yang bijak dan pandai, Sartono, Anwari, dan banyak lagi dalam rapat-rapat umum.
Tentu saja, selalu suamiku Kusno yang menjadi perhatian. Suaranya seperti samudra yang mengamuk, membangunkan semangat persatuan dan kemerdekaan Indonesia sekarang juga. Ia begitu menyihir semua orang.
                                                    Suara Pidato Soekarno
Sebelumnya orang-orang di Hindia Belanda ditangkap tanpa diketahui sebabnya dan tanpa dibawa ke pengadilan. Dan teman-teman di Negeri Belanda protes, protes sekeras-kerasnya. Sekarang teman-teman kita di Negeri Belanda ditangkap dan dipenjara di Den Haag, juga tanpa tahu apa pasalnya mereka ditangkap. Dan kita di sini protes, protes sekeras-kerasnya pada pemerintah Belanda. Apa artinya ini? Ini menunjukkan adanya persamaan tujuan di antara kita. Tujuan kita sama, yakni, Indonesia merdeka. Merdeka sekarang juga!! (Pause)

Inggit muncul. Tangannya menggenggam uang, dihitungnya dengan hati-hati.

Aku masih harus memikirkan semua kebutuhan kami. Dan jika berada dalam kesulitan seperti sekarang aku tak pernah menceritakan pada Kusno. Cukuplah dia memikirkan perjuangannya. Aku masih bisa mencari akal untuk hal-hal ini. Meski memang keadaan semakin sulit. Tadi aku ke toko tempat biasa aku menyimpan jamu dan bedak, tapi katanya tak terjual. Beruntunglah aku mendapat pinjaman. Dan Kusno tak perlu tahu hal ini.
Kerisauanku pada kebutuhan hidup selalu terobati oleh semangat perjuangan Kusno. Aku begitu bahagia melihat sorot matanya yang berkilat-kilat ketika berpidato. Tanda betapa ia meyakini kebenaran dari apa yang dipikirkan dan dikatakannya.

Dalam sebuah pertemuan di rumah Dr. Tjipto, Kusno menyatakan keinginannya untuk mendirikan sebuah perkumpulan, sebuah partai yang radikal. Terjadi perdebatan. Dr. Tjipto tak setuju dengan pendirian partai itu mengingat situasi yang sedang genting. Tapi bukanlah suamiku jika ia surut dari apa yang diinginkannya. Bersama Sartono, Sunario, Anwari, suamiku tetap dengan keinginannya. Maka berdirilah sebuah perkumpulan, sebuah partai “Perserikan Nasional Indonesia”, PNI. Suamiku menjadi ketuanya.

Kecemasan Dr. Tjipto terbukti. Pemerintah semakin beringas menangkapi siapapun yang dicurigai terlibat dalam pemberotakan golongan komunis. Dan kali ini yang menjadi korban penangkapan adalah Dr. Tjipto sendiri. Ia dituduh terlibat dalam pemberontakan itu. Ia dibuang ke Pulau Banda. Tempat praktiknya di Tegallega ditutup.

Seharusnya peristiwa penangkapan Dr. Tjipto itu membuat suamiku berpikir ulang tentang partai yang baru saja didirikannya. Tapi, tidak! Seperti singa yang terluka dan mengamuk, semangat Kusno semakin menjadi-jadi. Peristiwa itu makin membuatnya yakin, bahwa sebuah gerakan radikal mesti segera dilakukan. Untuk itu kekuatan harus dihimpun. Rakyat harus disatukan dalam semangat yang satu.

Maka bergeraklah kami ke berbagai kota, mendirikan cabang-cabang partai. Yogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Gresik, Pekalongan, Cirebon, Sumedang, Jakarta, dan kembali ke Bandung.  Di tempat-tempat itu Kusno berbicara dan berpidato berapi-api.

Banyak malam suaranya menjadi parau dan tubuhnya ringsek. Dalam kelelahannya itulah aku selalu menemaninya. Membuatkannya air asam, memijatinya, memberinya semangat, dan menidurkan kesayanganku itu. Singa panggung yang begitu manja dalam pelukanku. (Pause)

Panggung redup. Inggit duduk di kursi. Wajahnya tegang.

Polisi-polisi itu datang tiba-tiba, subuh, menggedor-gedor pintu. Begitu dibuka, seorang komisaris Belanda langsung menodongkan pistol. Polisi-polisi itu menyerbu masuk. Suara sepatu mereka yang keras menggema ke seluruh bangunan. Aku dan Kusno terbangun. Ia dengan tenang memakai piyamanya. Keluar dan menghadapi komisaris polisi Belanda itu.
Atas nama Sri Baginda Ratu, saya menahan Tuan!, katanya. Lalu mereka membawa suamiku.

Peristiwa itu terjadi di Yogjakarta, ketika kami baru saja menghadiri rapat umum pergerakan di Solo dan pertemuan PNI cabang Mataram. Bersama Kusno, ditangkap juga Maskun dan Gatot Mangkudipraja. Sejak lama, aku tahu peristiwa penangkapan ini akan terjadi. Aku sudah siap, bahkan sejak hari pertama aku menjadi istri Kusno. Karena itu aku berusaha siap menghadapi kesulitan yang bakal terjadi.

Tapi nyatanya aku tetap tidak tenang karena belum juga mendapat kabar tentang nasib Kusno. Sejak ia dibawa polisi beberapa hari tak ada kabarnya. Seorang pembantu kami yang ikut ditangkap akhirnya dilepas. Dia membawa pesan dari Kusno, agar aku pulang lebih dulu ke Bandung. Dari dia aku juga tahu, bahwa Kusno, Gatot, dan Maskun akan dibawa juga ke Bandung. Akhirnya aku pulang ke Bandung seorang diri, berdoa sepanjang jalan untuk keselamatan suamiku.

ENAM : Panggung terang. Inggit berkebaya, membawa rantang, lelah, dan suara-suara yang mengingatkan pada penjara, langkah kaki dan derit pintu besi.  

Setelah beberapa hari tak ada juga kunjung kabarnya, setelah rumah kami digeledah polisi, akhirnya datanglah kabar tentang nasib suamiku. Dia sudah dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke penjara Banceuy. Setiap hari aku ke Banceuy, membawa masakan kesukaan suamiku, berdiri di gerbang penjara, berharap bisa menjenguknya. Tapi para penjaga penjara itu dengan ketus bilang bahwa suamiku belum bisa dijenguk.

Penangkapan Kusno muncul di suratkabar dan membuat geger. Di Volksraad, Husni Thamrin dan orang-orang pergerakkan memprotes penangkapan Kusno yang melanggar hak orang berserikat. Husni Thamrin dan teman-temannya bahkan mengajukan mosi, mereka protes pada perlakuan pemerintah. Dari Negeri Belanda, Perhimpunan Indonesia juga mengirim telegram. Mereka telah mengirim telegram ke parlemen dan mencela sikap pemerintah Hindia-Belanda.

Tapi, kau tahu, kekuasaan memang tak pernah punya telinga. Jangankan mendengar protes mereka, keadaan bahkan bertambah genting. Di Bandung penggeledahan terjadi di mana-mana. Siapa pun bisa dicurigai dan dijebloskan ke penjara. Orang-orang jadi takut, dan pelan-pelan mulai memandangku seperti kuman penyakit menular.

Jika mencintai itu hanya bisa dilakukan dengan keras kepala, maka begitu juga perjuangan demi tanah air. Setiap hari aku berjalan ke Banceuy, membawa rantang makanan, berharap sudah bertemu dengan suamiku meski. Dan selama tiga minggu, aku hanya menemukan jawaban yang sama dari penjaga. Suamiku belum bisa dijenguk.

Dalam keadaan seperti itu, ekonomi semakin sulit. Sambil berpuasa aku terus berusaha menutupi kebutuhan, dan itu tidak cukup lagi hanya dengan menjahit pakaian dan kutang. Aku jadi agen sabun, membuat rokok, jadi agen cangkul dan alat-alat pertanian.

Empatpuluh hari kemudian, datanglah kabar yang sangat kutunggu, Kusno sudah bisa dijenguk. Kami bertemu di antara kawat yang memisahkan kami. Aku ingin merangkulnya, ia pun tampak berusaha menaham emosi. Dalam semua perjalanan selama ini aku selalu ada di samping suamiku. Dan kini kami dipisahkan. Bahkan tidak untuk sebuah rangkulan pun.

Suamiku dimasukkan ke dalam sel yang lebarnya hanya satu setengah meter, separuhnya sudah terpakai untuk tempat tidur. Panjang sel itu sama panjangnya dengan peti mati. Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan.

Meski aku tahu dan telah menyiapkan hati jika semua ini bakal menimpaku, tapi ketika pertamakali pintu yang berat itu tertutup rapat di hadapanku, aku rasanya hendak mati.         

Begitu suamiku bilang. Tak bisa kubayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya di tempat semacam itu. Aku tahu benar, dia lelaki yang suka dengan kerapihan dan sangat pemilih. Menyukai pakaian yang bagus dan harus selalu tampak rapih. Ia tidak suka segala yang tampak kotor. 

Seseorang pada akhirnya harus menemukan batas dari kekuatan dirinya. Dan aku rasa ini yang kulihat pada Kusno. Penjara yang kecil itu telah menekan jiwanya. Dan aku tidak akan membiarkan singa podium itu menyerah. Aku tidak mau suamiku menjadi menjadi lemah. Suatu hari dengan mata redup ia meminta maaf padaku karena telah lalai sebagai seorang suami.

Tidak, kasep. Jangan berpikir begitu. Jangan berkecil hati. Di rumah semuanya beres. Aku masih bisa bekerja untuk mencari uang. Beres, kasep, beres.

Ia masih memandangku dengan mata sorot mata yang lemah. Aku memandang ke arah matanya. Dan aku bilang dengan suara tegas,

Tegakkan dirimu, Bung karno! Tegakkan! Ingat semua cita-citamu untuk memimpin rakyat! Jangan luntur hanya karena cobaan dan penjara! Aku istrimu akan berada di sampingmu dan akan selalu di sampingmu!

Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya. Matanya yang redup mulai berkilat-kilat. (Lampu Redup)
 

Panggung gelap, lalu cahaya masuk, redup. Inggit berdiri, diperutnya terikat buku, kue-kue nagasari yang isinya terbuka dan setengah terbuka.

Bersama tiga orang lainnya, suamiku akan diadili di Landraad. Oleh penguasa dituduh membuat perkumpulan yang berniat jahat. Tapi suamiku ingin mengubah pengadilan itu menjadi sebuah gugatan pada pemerintah. Ia ingin menyusun gugatan itu. Maka di pengadilan nanti bukanlah suamiku yang digugat oleh penguasa. Tapi dialah yang akan menggugat kolonialisme dan imprealisme.


Ia memintaku mengirimkan semua bahan bacaan diperlukannya untuk menyusun gugatan itu. Tentu saja tidak mudah menyelundupkannya. Tapi tak ada yang bisa menghalangiku untuk mendampingi Kusno. Melakukan apa yang diperlukannya.

Buku-buku tebal itu aku ikat ke tubuhku, kusembunyikan di balik stagen. Aku berpuasa dua sampai tiga hari agar perutku menjadi kecil, agar buku itu tidak terlalu tampak. Mulanya aku begitu takut. Apa jadinya kalau penjaga mengetahuinya! Tapi ini harus kulakukan. Kusno memerlukan buku-buku ini. Beruntunglah para penjaga penjara itu tak menaruh curiga. Begitulah, sampai semua buku yang diperlukan Kusno untuk menulis pembelaannya itu bisa kuselundupkan ke dalam penjara. Setiap kali pulang dari Banceuy, tubuhku benar-benar lemas...

Akhirnya aku lolos. Dalam pengawasan seorang penjaga yang mengawasi pertemuan kami, aku dengan keringat dingin bisa menyelundupkan buku dan semua bahan yang diperlukan itu pada Kusno. Dengan sebuah isyarat, Kusno juga mengerti bahwa di dalam kue nagasari itu aku telah memasukkan uang logam. (Pause)
Inggit duduk di bangku panjang ruang pengadilan. Suara ramai para pengunjung

Setelah delapan bulan ditahan di penjara Banceuy, barulah suamiku diadili. Selama beberapa hari dalam pengadilan itu hakim mencecar suamiku dengan berbagai pertanyaan yang menjebak. Mereka ingin agar tuduhan bahwa suamiku dan partainya terbukti hendak melakukan pemberontakkan.
Tapi Suamiku tetap tenang, ia pandai mengelak dari jebakan-jebakan itu, dan tetap mengatakan bahwa apa yang ia perjuangan bersama partainya adalah melawan kolonialisme dan imprealisme demi mencapai kemerdekaan.
Dan di hari ia membacakan pembelaannya, aku begitu bangga. Aku begitu terharu mendengar suara dan semangatnya, membacakan pembelaannya. Dan apa yang telah kulakukan tidaklah sia-sia. (Lampu redup 
bersamaan dengan suara Soekarno membacakan teks Indonesia Menggugat)
                                         

Panggung terang. Inggit duduk menjahit.

Mereka menganggap suamiku bersalah karena ia mengatakan “Tidak” pada kolonialisme. Keputusan pengadilan itu lagi-lagi mendapat kecaman dari mana-mana. Tapi kekuasaan memang tak pernah punya telinga. Keputusan Raad van Justice di Jakarta bahkan memperkuat vonis Landraad. Untuk kata “Tidak” yang diteriakkan oleh suamiku itu, kolonialisme menjatuhkan hukuman padanya selama empat tahun. Dia dipindahkan ke Sukamiskin. Penjara yang letaknya 10 kilometer dari Bandung.

Satu-satunya yang membuatku lega sekarang suamiku tidak lagi berada di sel penjara yang menyiksanya itu. Penjara Sukamiskin lebih luas dan lebih baik ketimbang penjara Banceuy. Tapi bagi suamiku penjara Sukamiskin itu tak lebih dari sebuah rumah kurungan. Dia bilang, Aku lebih suka dibuang tiga tahun ketimbang dikurung di tempat ini

Tapi bagi seorang pejuang penjara adalah rumah pertapaan. Itulah yang pelan-pelan dirasakan oleh suamiku. Sebelumnya, sebagai pemuja kebebasan, dia begitu tertekan. Dia dikurung bukan hanya sebagawai tawanan, tapi juga sebagai orang suruhan. Dia harus menerima perintah dan setiap hari melakukan pekerjaan yang membosankan.

Coba kau bayangkan, seorang singa podium seperti Bung Karno dengan gemuruh suaranya mengajak semua orang melawan dan mengatakan “Tidak” pada kolonialisme demi kemerdekaan,  kini setiap hari disuruh mengangkat kertas dan memotongnya, lalu di atas kertas itu ia harus membuat garis-garis sehingga menjadi buku tulis. Pekerjaan yang membosankan dan mengerikan bagi orang seperti suamiku. Semangat hidupnya nyaris ambruk.

Tak hanya itu. Dia bercerita bagaimana seorang pemuda dalam penjara itu suatu hari ditemukan mati gantung diri. Pemuda itu dipaksa dan diperkosa oleh tiga orang sesama lelaki. Ya, Allah, aku benar-benar ngeri membayangkannya. Aku tahu, suamiku yang masih muda dengan semua gairahnya kini terkurung seperti hewan. Dan kini aku tak bisa melayaninya.

Tapi aku bersyukur, pelan-pelan suamiku bisa meredakan ketegangannya, mengalihkan perhatiannya pada agama. Ia pun rajin berolah-raga. Aku pun boleh membawakan untuknya buku, tapi tak boleh buku politik. Aku membawakannya buku-buku agama dan itu sangat membantu.

Tapi hal lain segera muncul. Dan itu datang dari luar penjara. Setelah Raad van Justice mengabulkan vonis pengadilan Landraad terhadap Kusno, PNI mengadakan kongres luarbiasa di Jakarta. Hasilnya sebelum pemerintah membubarkan, mereka memilih untuk membubarkan diri. Kongres itu menimbulkan perpecahan. 

Mereka yang setuju dengan pembubaran membentuk parti baru, namanya Partindo. Sedang mereka yang tak setuju lalu membentuk PNI Baru, Pendidikan Nasional Indonesia.

Kabar ini tentu sangat menguncang suamiku dan membuatnya begitu sedih. Bisa kumaklumi, sebab ia senantiasa memimpikan persatuan dalam perjuangan. Aku coba menenangkannya. Memintanya untuk tidak berputus asa.

Dua kali seminggu aku mengunjungi suamiku. Aku diijinkan membawa buku untuk Kusno, tapi tidak boleh buku politik. Bahkan pembicaraan kami berdua pun selalu diawasi oleh seorang penjaga. Kami dilarang membicarakan hal-hal politik.

Tapi aku tak pernah kehilangan akal untuk memberitakan perkembangan yang terjadi di luar pada Kusno. Diam-diam aku membuat sebuah kode atau sandi melalui buku-buku agama yang kirim untuknya. Sandi itu kubuat dengan cara melubangi huruf dengan jarum sehingga jika ia merabanya bisa menjadi sebuah rangkaian kalimat.

Meski dalam penjara Kusno pun memerlukan kebutuhan yang membuatku harus mencari akal mendapatkannya. Termasuk uang yang diperlukannya. Pernah suatu kali ia meminta uang sebanyak enam gulden. Uang itu untuk menyogok para penjaga agar mereka bersikap baik dan memberi keleluasaan pada suamiku. Seperti biasa, ku mengusahakan uang itu, mengirimnya dengan cara memasukkan uang itu ke dalam kue, sehingga tidak diketahui penjaga.

Sungguh, aku tak pernah memberi tahu pada suamiku tentang satu hal, yaitu, aku sering ke Sukamiskin hanya dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari rumahku di Astana Anyar menuju Sukamiskin haruslah ditempuh dengan kendaraan. 10 kilometer jauhnya. Tapi keadaan kami sedang susah dan kebutuhan suamiku haruslah didahulukan.

Pernah suatu kali, hari sedang hujan dan aku pulang berjalan dari Sukamiskin. Sesekali aku berteduh di emperan toko. Tidak, aku tak ingin suamiku mengetahuinya. Ia sudah cukup berat memikirkan dirinya dan perjuangannya. Aku ingin suamiku tenang dan tetap menjaga semangatnya. (Lampu Redup)

TUJUH: Inggit merapihkan pakaian, menyiapkan dirinya, wajahnya segar. Di luar terdengar suara orang menyiapkan sebuah penyambutan.

Setelah masa hukumannya dipotong dua tahun, akhirnya 29 Desember 1931 suamiku dibebaskan. Meski aku tidak tahu entah apa lagi yang akan kami hadapi dalam perjuangan ini, tapi kebebasan Kusno bagaimanapun membuat aku lega. Begitu juga semua orang yang mendengarnya.

Husni Thamrin. Mr Sartono, Muh. Yamin, Amir Syarifudin, Ali Sastroamidjojo dan teman-teman seperjuangannya, bahkan berbagai organisasi perjuangan sampai tukang bendi,  menyambut kepulangannya. Mereka menjemput Kusno ke Sukamiskin. Dan ketika Kepala Sipir Penjara bertanya apakah benar dengan kebebasannya itu suamiku akan memulai kehidupan yang baru, suamiku menjawab,

Seorang pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk memperjuangkan kemerdekaan dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran yang sama

Kau tahu, bangga sekali aku mendengar jawaban suamiku itu.

Lepas dari penjara Sukamiskin kami memulai kembali perjuangan. Suasana politik sudah berubah. Banyak organisasi perjuangan seperti kehilangan darah. Kini Kusno pun dihadapkan pada masalah perpecahan PNI. Partindo dan PNI Baru terus saja bersengketa di suratkabar dan majalah mereka. Sebuah masalah yang menyedihkan suamiku. Orang-orang Partindo ingin agar Kusno bergabung dengan mereka. Tapi Kusno menolak. Ia ingin menyatukan dan mendamaikan Partindo dan PNI Baru.


Suatu hari suamiku pulang dengan wajah yang sedih dan kecewa. Katanya, ia baru saja datang ke rapat PNI Baru. Ia ingin menghadirinya. Tapi tak disangka-sangka, di pintu masuk ia dihadang dan tak diijinkan masuk.  
Kau bayangkan, bagaimana kecewanya suamiku. Aku sendiri merasa sakit mendengar ceritanya. Setelah semua yang dilakukannya demi perjuangan, aku merasa sakit jika ada siapa pun menyakiti Kusno-ku. Tapi kekecewaanku itu tidak kuperlihatkan pada Kusno. Aku berusaha menenangkannya.

Dengan penuh sayang, aku besarkan hatinya. Kubilang, mungkin penjaga pintu hanya ingin menegakkan disiplin, bahwa hanya orang yang diundang saja boleh masuk. Ia hanya diam, berbaring tenang di dadaku. Aku tahu bagaimana menenangkan dan mengalihkan perhatian suamiku. (Lampu Redup)

Suara orang-orang dalam sebuah rapat politik, suara pidato sayup-sayup. Inggit duduk di sebelah kursi kosong

Seperti dulu, aku kembali mendampingi Kusno dalam kesibukkan politiknya. Suasana sekarang sudah berbeda. Pertentangan di antara partai dan organisasi perjuangan semakin tajam. Inilah yang merusuhkan pikiran suamiku, sekaligus membuatnya sedih.

Hanya dua hari setelah ia keluar dari Sukamiskin, aku dan Kusno melakukan perjalanan ke Surabaya menghadiri Kongres Indonesia Raya. Di setiap stasiun yang kami singgahi orang banyak menyambut kehadirannya, memanggil-manggil namanya. Panggilan yang tak hanya karena keterkenalan nama suamiku, Bung Karno, tapi juga menyiratkan harapan mereka pada perjuangan suamiku.

Dalam kongres itu untuk pertama kalinya sejak ia di penjara, Kusno kembali tampil berpidato. Ia seolah meluapkan kehausannya untuk berbicara di depan orang banyak. Dan tampaknya orang-orang pun sudah rindu mendengar pidato singa podium itu. Kusno tak berubah, seperti dulu, suaranya menggelegar berisi seruan dan semangat perjuangan untuk bersatu, bersama-sama mengatakan “Tidak” pada penjajahan.

Di tengah pertentangan partai dan organisasi perjuangan akhirnya Kusno bercerita padaku bahwa Sutan Syahrir sudah kembali dari Negeri Belanda. Bersama Hatta ia bergabung dengan PNI Baru. Kusno pun akhirnya masuk bergabung dan memimpin Partindo. Aku tak bertanya alasan mengapa ia memutuskan bergabung. Tapi kupikir itu tak lepas dari kedekatannya dengan Sartono. Orang yang memang sangat kurasakan kedekatan dan kesetiaannya pada kami.

Seperti dulu semasa ia memimpin PNI, kembali aku mendampingi Kusno melakukan perjalanan ke berbagai kota. Dan tak ada yang dikerjakannya selain berpidato dan pidato. Di atas mimbar, ia seolah mengaum, mengatakan pendiriannya bahwa tak ada kerjasama apapun dengan para penjajah.
Kota-kota di Jawa Timur dan Jawa Tengah kami jelajahi. Lalu sampailah suatu hari ketika Kusno berangkat ke Jakarta seorang diri untuk menghadiri rapat partai. Suamiku itu tak pulang lagi ke Bandung. Tapi datanglah kabar, ia ditangkap. (Lampu Redup)

Suara rantai besi. Orang berjalan di lorong. Suara pintu besi. Inggit duduk di kursi terdakwa.

Sekarang suamiku mereka tangkap hanya karena para penguasa itu takut pada sebuah tulisan. Tulisan suamiku “Mencapai Indonesia Merdeka”. Tulisan itu dianggap menghasut. Ia kembali dijebloskan ke penjara Sukamiskin.

Penangkapan Kusno kembali membuat geger. Tapi di tengah pertentangan  organisasi perjuangan, peristiwa penangkapan itu memercikkan banyak masalah yang memukul bathin kami. Mereka yang garis perjuangannya berbeda, menyebut penangkapan Kusno merupakan tanda bahwa suamiku itu bakal lenyap dari kalangan pergerakan rakyat. Suamiku terpukul sekali mendengarnya.   Tak hanya itu. Malah sekarang muncul tuduhan yang menampar wajahku. Dan itu ditulis di suratkabar kaum pergerakan.  

(Suara orang membacakan koran): Setelah ia dua setengah tahun berusaha mengorbankan semangat kebangsaan, ia menjadi korban pergerakan dan bernaung dua tahun lamanya dalam penjara. Sekarang ia sudah satu setengah lagi dalam perjuangan. Dan tangan penguasa menyingkrkannya lagi dari pergerakan yang dibelanya barangkali untuk selamanya.

Tidak sedikit yang menyangka, bahwa perkataan Soekarno bakal lenyap dari kalangan pergerakan rakyat, akan menjadi satu lakon yang sedih, yang melukai hati seluruh pergerakan radikal. Sekali ini, Soekarno menjadi korban bukan karena pergerakan atau kekejaman pemerintah. Melainkan korban daripada dirinya sendiri, karena luntur iman dan ternyata pula tidak mempunyai karakter.

Sebagai pohon nyiur disambar geledek, demikian berita yang tersiar dalam surat kabar bahwa Ir. Soekarno mengambil keputusan sesukanya untuk mengundurkan diri dari segala pergerakan. Yang lebih menggemparkan lagi ialah alasan yang dikemukakannya, karena ia sudah tidak cocok lagi dengan asas Partindo. Ada lagi kesedihan yang lebih daripada itu. Satu tragedi Soekarno yang belum ada contohnya dalam riwayat dunia. Orang kata karena istrinya.

Di sini tidak istrinya yang bersalah. Melainkan pemimpin Soekarno yang tidak beriman. Orang yang mempunyai karakter tidak akan terpengaruh oleh air mata istri yang tidak tahan hidup melarat.  (Inggit terdiam. Kaku. Lalu menjerit panjang. Jatuh. Lampu redup)  
Inggit masih tergolek. Panggung agak suram. Suara orang terus membaca koran, berulang-ulang. Sayup.

Orang itu seperti menginjak-injak seluruh diriku. Tahu apa dia tentang aku, sampai ia bisa  mengatakan bahwa aku tidak tahan hidup melarat? Jangankan meminta atau menuntut pada suamiku, bahkan mengeluh saja aku tidak pernah. Apakah harus kukatakan pada semua orang bahwa sejak ia masih sekolah akulah yang menanggung semua kebutuhan hidup kami? Apakah harus kukatakan agar semua orang tahu bahwa selama Kusno di penjara akulah yang memenuhi semua kebutuhannya? 

Kini suamiku kembali dipenjara demi membayar apa yang dicita-citakan semua orang, yaitu, kemerdekaan. Tapi mengapa dia lantas dihujani oleh berbagai prasangka? Setelah penjajah menjebloskannya ke dalam penjara, kini mereka menjebloskannya ke dalam prasangka! Menyebutnya sebagai orang yang tak berwatak, menyebutnya sebagai pemimpin yang tak beriman! Lalu menyebut aku istrinya sebagai biang keladi!

Mereka hanya takut kehilangan pengaruh. Dengan suamiku kembali masuk penjara, mereka takut dengan keternaran suamiku di kalangan rakyat. Karena itu mereka bilang penangkapan suamiku bukanlah karena korban kekejaman pemerintah Hindia-Belanda, tapi karena kelemahan imannya. Jangankan mereka bersatu mengatakan “Tidak” pada kolonialisme, mereka malah membuat desas-desus.  

Semuanya tak berhenti di situ. Suatu hari seorang utusan pemerintah Hindia Belanda datang ke rumah menemuiku. Utusan itu datang dengan satu tujuan, agar aku meminta ampun pada pemerintah untuk dan atas nama suamiku. Aku bilang dengan wajah tegak dan memandang ke arah wajah utusan itu,

Tuan tidak perlu bersusah payah meminta pada saya atau pada suami saya untuk meminta ampun pada pemerintah Hindia-Belanda. Dengar Tuan Utusan, orang yang meminta ampun adalah orang yang bersalah. Saya ingin bertanya pada Tuan, apakah menurut Tuan orang yang memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya adalah orang yang bersalah? Tuan tak perlu mengatakan jawabannya pada saya, sebab Tuan bisa menjawabnya sendiri dengan mudah dalam hati Tuan. Saya sudah digembleng oleh suami saya untuk menerima semua risiko dari apa yang kami perjuangkan ini.     
Utusan itu pergi. Tapi tiba-tiba terdengar desas-desus lagi, bahwa suamiku telah meminta ampun pada pemerintah. Aku dibuat risau oleh kabar itu. Apakah benar suamiku telah berbuat sehina itu? Mengapa itu dilakukannya?

Aku tidak percaya, dan aku telah menemukan jawabannya dari sikap Kusno. Mustahil suamiku melakukan pekerjaan yang memalukan itu. Aku mau suamiku tetap menjadi lelaki yang tangguh, karena untuk itulah aku mendampinginya. (Lampu redup)

DELAPAN: Inggit mengemasi barang-barang. Suara kesibukan orang bekerja pindah rumah. Lampu pelan menjadi terang. Suara laut.

Di mata para penguasa, seseorang yang ngotot bilang “Tidak” pada kekuasaan seperti suamiku,  tak ubahnya dengan kuman yang bisa menular. Bukan hanya pikiran dan kata-katanya yang dianggap berbahaya. Bahkan kehadirannya pun bisa membuat orang banyak terpengaruh. Karena itu dia harus dibuang jauh-jauh, diasingkan, dipisahkan dari masyarakatnya.

Di depan Volksraad pemerintah Hindia Belanda memutuskan pembuangan suamiku ke Ende di Flores. Ia harus diasingkan karena dianggap sudah terlalu berbahaya.   Dan ketika kami bertemu setelah mendengar keputusan itu, Kusno bertanya padaku,

Kumaha Inggit, Enung bade ngiring?

Tak perlu aku berpikir untuk menjawab pertanyaan suamiku itu. Aku bilang,

Muhun, Kasep. Kemana pun mereka membuangmu, aku akan ikut mendampingimu, Kasep...

Meski aku bukan student dan orang pandai, tapi aku faham benar artinya kesetiaan seorang istri bagi seorang suami seperti Kusno. Aku sudah teken kontrak, hidup dan mati mendampingi suamiku, susah dan senang.
Tak hanya aku dan anak angkat kami, bahkan ibuku pun ikut. Aku menjual semua perhiasan dan rumah sebagai bekal hidup kami di pembuangan. Kami tak tahu kapan kami akan kembali ke Bandung. Bisa saja kami akan selamanya di sana. Lebih dari itu, aku ingin memberi ketenangan pada hati suamiku, betapa sampai kapan dan di manapun ia tak akan pernah sendirian.

Pagi hari kami diberangkatkan dari Bandung ke Surabaya dengan kereta api. Aku, Omi anak angkat kami, ibuku Amsi, dan dua orang pembantu kami yang setia, Muhasan dan Karmini. Kusno berada di gerbong yang lain. Kereta bergerak ke arah timur. Cahaya pagi kemerahan. Aku memandang keluar. Sungai Cikapundung tempatku kecil dulu bermain, juga Gedung Landraad. Kereta terus bergerak. Bandung tertinggal di belakang. Mataku basah.  Pileuleuyan Bandung...

Setelah menginap semalam di Surabaya, kami dibawa ke pelabuhan Tanjung Perak. Tak disangka orang penuh sesak , berjejal di pinggil jalan, mereka meneriakkan nama suamiku, “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!”

Aku merinding dan terharu melihat begitu besar harapan yang mereka titipkan pada suamiku. Dan aku semakin tahu kewajibanku. Delapan hari kami terapung-apung di laut... (Lampu redup)

Suara laut dan lengking kapal. Inggit duduk memilih sayuran. Panggung terang

Tak ada lagi rapat-rapat umum partai, pertengkaran organisasi perjuangan, atau pertemuan malam hari yang penuh perdebatan. Tak ada lagi mimbar pidato yang sangat disukai oleh suamiku, dan orang-orang yang riuh bertepuk tangan menyambut kata-kata singa podium itu.
Politik sudah tak ada lagi kecuali kesibukan kami berkebun. Sesekali pergi ke laut, berjalan-jalan ke bukit, lalu malam hari mendengar suara lengking kapal.

Hari, pekan, dan bulan kami lewati di pembuangan dengan perasaan yang ringan. Mencoba untuk menerimanya tanpa pernah merasa rindu dengan Bandung. Kami berkenalan dengan masyarakat Endeh. Mereka tahu kami dari Jawa, orang politik, orang buangan.

Tapi di Ende inilah aku harus kehilangan ibuku. Setelah sakit dan lima hari tak sadarkan diri, ibuku meninggal. Kusno ikut mengusung jenasahnya ke pemakaman di pekuburun kampung yang sederhana. Bahkan suamiku mengantar jenasah mertuanya itu hingga ke liang lahat. 

Kusno tentu pelan-pelan merasa bosan. Tapi beruntunglah ia menemukan kesibukan dengan memperdalam ilmu agama. Ia bersurat-surat dengan A.Hassan di Bandung. Berdiskusi perihal agama. Ia terus membaca buku-buku agama, terutama sejarah dan Tauhid. Tak jarang A. Hassan mengirimkan buku-buku agama untuk suamiku. Hanya dalam semalam suamiku sudah melahap habis buku itu. Lalu ia segera akan membuat catatan, mengirim surat pada A.Hassan dan mendiskusikannya. 


Suatu hari suamiku menerima surat dari Bandung, dari teman pergerakkan.  Dari surat itu kami tahu bahwa Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul, lalu dipindahkan ke Banda Neira. Dalam pembuangan itu Hatta mengisi waktunya dengan mempelajari filsafat Yunani. Sedang Syahrir asyik menekuni perbandingan kebudayaan Timur dan Barat.

Lewat surat menyurat dengan teman-temannya di Jawa, Kusno masih mengikuti perkembangan politik. Dan itu sering membuatnya begitu geram. Kalau sudah begitu aku harus cepat menghampirinya, bersabar menemaninya.  Membiarkannya terus berbicara, meluapkan kekesalannya.
Setelah itu biasanya ia lelah, karena terus berbicara. Aku lantas mengajaknya keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya agar ia lepas dari tekanan-tekanan batinnya.

Beruntunglah, kesepian yang sering dirasakan oleh suamiku itu bisa dialihkan oleh kesibukkan barunya membentuk kelompok sandiwara, namanya Toneel Kelimutu. Aku tidak menduga kalo singa podium itu pandai juga membuat cerita sandiwara, membuat dekor, malah jadi sutradara. Sampai beberapa kali pertunjukkan Toneel Kelimutu mulai dikenal di Endeh. Tentu saja setiap kali pertunjukan modalnya pinjam dari uang simpananku. 

Tapi tak lama, kembali kesepian melanda perasaan suamiku. Surat-menyuratnya dengan beberapa orang di Jawa membuatnya selalu risau. Situasi politik dan kian lemahnya organisasi pergerakan membuatnya gemas. Tapi lebih dari itu aku mengerti benar suamiku.

Ia amat merindukan Jawa. Rapat-rapat pergerakan, podium, pidato, tepuk tangan para pendukung dan orang-orang yang memujanya. Sel penjara dan pembuangan adalah siksaan baginya. Dalam kesepian dan kerisauan itulah malaria menyerbu tubuh suamiku.

Berhari-hari ia tergolek lemas, dan tampak putus asa. Dalam rasa putus-asa itulah suatu kali ia berkata padaku untuk pura-pura mau bekerjasama dengan pemerintah. Taktik agar ia segera dikembalikan ke Jawa. Aku bilang dengan tenang padanya,

Kus, ini bagaimana? Mengapa mesti menyerah hanya karena ujian sekecil ini? Bukankah Kasep teh ingin jadi pemimpin? Cobaan di depan nanti akan lebih banyak dan lebih berat lagi. Masak calon pemimpin selemah ini? Sabar, Kasep, kudu tawakal dan kuat...

Malaria di tubuh suamiku semakin mengganas. Dan di Volksraad, Husni Thamrin melakukan protes keras. Ia bilang pemerintah harus bertanggung-jawab jika Soekarno meninggal di pengasingan.  Protes Husni Thamrin berbuah manis. Datanglah sepucuk surat. Kami dipindahkan ke tempat yang jaraknya lebih dekat dengan Jawa. Ke Bengkulu. (Lampu redup)

SEMBILAN: Inggit duduk, tampak baru saja mengerjakan sesuatu. Suara orang-orang memindahkan sesuatu dan memperbaiki rumah

Sejak hari pertama di Bengkulu aku sudah mendapatkan kegembiraan. Orang-orang menyambut kedatangan kami. Bahkan mereka ikut membantu memperbaiki rumah kami di Anggut Atas. Kusno juga tampak gembira.
Endeh meninggalkan kenangan yang menyedihkan buatku. Ibuku yang meninggal , keterasingan, malaria, dan kesepian yang hampir saja menghancurkan jiwa suamiku. Bengkulu buatku adalah harapan. Kami menjadi lebih dekat dengan Jawa dan karena itulah aku mulai melihat kembali semangat di wajah suamiku.
Rupanya ilmu agama yang ditekuni suamiku selama di Endeh banyak faedahnya dalam bergaul dengan masyarakat di sini. Tapi memang suatu kali terjadi persoalan karena paham suamiku yang menganggap orang-orang di sini beragama secara kolot. Persoalan itu sampai membuat kami sekeluarga sempat dijauhi  masyarakat.

Aku bilang pada Kusno, kita tak baik memaksakan kehendak kita pada orang lain dengan sikap yang kaku. Kita harus mengajak mereka dengan baik-baik. Ini urusan orang beragama dan keyakinannya. Bukan seperti orang berpolitik. Untunglah suamiku bisa paham, bahwa memang dibutuhkan cara yang berbeda dalam menghadapi dunia politik dan agama. Sejak itu suamiku bergabung dengan Muhammadiyah. Bahkan suatu hari atas tawaran Hassan Din, suamiku mengajar di sekolah Muhammadiyah.
Hari dan pekan kami lewati dengan tenang di Bengkulu. Sering kami seisi rumah berjalan-jalan ke pantai. Atau menikmati kota di malam hari.
Inggit, geura dangdos, urang jalan-jalan

Begitu ajak suamiku dengan bahasa Sunda seperti banyak diucapkan oleh orang suku Jawa  (Lampu redup)

Inggit membawa bantal dan selimut yang terlipat rapih ke dalam kamar. Keluar lagi dan duduk sambil menjahit, atau mengerjakan sesuatu.

Tadi sore Hasan Din kepala sekolah Muhammadiyah itu bertandang. Membawa istri dan anak gadisnya Fatimah. Umurnya setahun lebih muda dari Omi anak angkat kami. Hassan Din menceritakan masalah yang dihadapinya dengan sekolah Fatimah pada suamiku, dan minta pandangan bagaimana sebaiknya. Fatimah sudah tidak sekolah lagi, hanya giat  di Nasyatul Aisyah di dekat perbatasan Lubung Linggau dan Bengkulu. Hassan Din ingin menyekolahkan putrinya di Bengkulu.

Atas ajakan Omi dan kesediaan suamiku membantu, akhirnya Fatimah akan dimasukkan ke Valkschol, tempat Omi sekolah. Malah Omi lansung mengajak Fatimah untuk tinggal bersama kami. Begitulah, akhirnya Fatimah tinggal bersama kami. Omi begitu gembira mendapat teman baru.

Aku pun lalu menganggap Fatimah sebagai saudara Omi yang baru. Karena itulah aku tak membeda-bedakan mereka. Baik Omi, Kartika, maupun sekarang Fatimah. Tapi tak lama kemudian Fatimah pun pindah ke rumah salah seorang saudaranya. Semuanya berlangsung baik-baik saja.

Di Bengkulu kesibukkan suamiku sebagai guru di sekolah Muhammadiyah membuatnya sering menghadiri berbagai pertemuan. Sesekali aku ikut tapi tak jarang juga Kusno pergi sendirian.

Sampai suatu hari Kusno mengajakku berbicara perihal sekolah Omi. Suamiku ingin agar Omi sekolah di Perguruan Taman Siswa di Yogja. Aku tak bisa membantah karena tahu benar apa dan bagaimana pentingnya pendidikan bagi anak-anak kami di Kusno. Dan suamiku ingin agar Omi mendapat pendidikan di sekolah yang bagus. Karena itu ia ingin agar Omi sekolah Yogja.

Keinginan suamiku itu artinya secara tak langsung ia menyuruhku ke Yogja mengantar Omi.   Sangat tidak mungkin Kusno yang mengantarnya karena dia itu kan orang tahanan yang diasingkan. Sedangkan melepas Omi sendirian berangkat itu juga tidak mungkin. Apalagi sejak bayi anak itu belum pernah sekalipun berpisah dengan kami.

Sekalian Inggit bisa mampir ke Bandung sepulang mengantar Omi

Begitu katanya, dan kupikir itu baik karena aku pun sudah rindu dengan sanak famili di Bandung.
Hari itu berangkatlah aku dan Omi meninggalkan Anggut Atas menuju ke Yogja. Setelah memastikan semua urusan sekolah Omi selesai, termasuk juga pemondokkannya, aku menuju Bandung. Melepas rindu dengan kota kembangku, dengan sanak famili.

Ada sebulan aku meninggalkan Bengkulu. Sampai kembali ke rumah di Anggut Atas, aku mencium sesuatu yang ganjil di setiap benda yang ada di rumah. Pot, peralatan dapur, kursi-kursi, dan perabotan rumah rasanya tiba-tiba menjadi lain. Bukan karena benda-benda itu bertukar tempat dan posisi, tapi aku mencium ada sesuatu yang aneh di balik benda-benda itu. Aku mencium bau busuk. Bau yang belum pernah kucium semasa kami di Bandung atau di Endeh. Bau yang mengancam. Seperti bau bangkai... (Lampu redup)

SEPULUH: Inggit duduk lesu di tepi ranjang. Wajahnya kusut. Menerawang.

Aku mulai tak hanya mencium bau busuk, tapi juga orang-orang yang berbisik tentang suamiku. Tentang apa yang terjadi selama aku ke Yogja. Tapi aku berharap ini hanya perasaanku saja, dan semua bisik-bisik itu pun bukanlah sebuah kebenaran. Tapi bau dan bisik-bisik itu...

Suatu malam aku merasa perlu menanyakannya pada Kusno. Aku ingin mendengar bagaimana jawabannya. Dan kuharap Kusno akan mengatakan apa yang kuharapkan, bahwa semua baik-baik saja.
Dan bisikan-bisikan orang lain itu tak usah Inggit dengar. Aku ingin dia bilang begitu.

Tapi begitu aku akan memulainya, suamiku sedang sibuk menulis. Ia sedang menulis sebuah karangan untuk menjawab bantahan A. Muchlis terhadap tulisan suamiku di suratkabar Pandji Islam di Medan. Melihat kedatanganku, suamiku malah membicarakan pendapat-pendapatnya tentang karangannya, tentang Islam dan perubahan. Bahwa Islam haruslah menjadi agama dinamis, tidak beku dan kolot.

Mendengar dia begitu semangat bercerita tentang karangannya, aku jadi terbawa-bawa sambil sesekali mengingatkan agar perselisihan pandangan tidaklah lantas menimbulkan kebencian dan memutus silaturahmi.
Sampai kami berdua berbaring tidur aku tak jadi membicarakan apa yang tadi kusiapkan. Tiba-tiba saja ketika aku mengira ia sudah tidur, aku mendengar suara suamiku
Inggit?  

Ya, apa Engkus? Jawabku
Aku ingin punya anak.

Aku terkejut, karena sekalipun sejak kami menikah ia tak pernah mengatakan keinginannya itu. Lalu kusebut Omi dan Kartika sebagai anak-anak kami. Meski pun mereka anak angkat.
Tapi aku ingin punya keturunan

Aku langsung terdiam.

Duh, Gusti, bau busuk itu semakin menyengat.
Bisikan-bisikkan itu kini semakin keras. Mendengung.

Gusti, ia meminta sesuatu yang tak Kau anugerahkan
padaku. Telah tiga lelaki bersamaku, tapi rahimku
seperti tanah yang tak bisa menyimpan air hujan
untuk menumbuhkan tanaman.

Tiga lelaki tak bisa menyimpan tubuhnya di tubuhku.
 Aku perempuan dengan tubuh yang tak ditakdirkan
menjadi tubuh  seorang ibu.

Engkus, aku kini perempuan 53 tahun.
kau meminta apa yang tak  bisa kuberikan.
Bahkan sejak dulu aku memang  tak pernah bisa
memberikannya.

Sekarang mengapa baru kau katakan?
Mengapa sekarang baru kau memintanya?   

Engkus, kau menemukan sebuah alasan dari takdir tubuhku... (Lampu redup)

Sore. Inggit duduk sambil menjahit. Sesekali wajahnya menatap jauh ke luar jendela.

Bukan hanya karena kepergian Omi ke Yogja sehingga sekarang rumah ini sekarang jadi sepi. Sejak aku mendengar keinginan Kusno malam itu, ada sesuatu yang seolah kami sama-sama menahannya. Seperti menahan sebuah ledakan. Keadaan yang baru pertama kali terjadi di antara kami.
Suamiku kini sering semakin sering pergi tanpa lagi mengajakku, bahkan tak jarang ia tak mengatakan ke mana ia hendak pergi. Aku mencoba untuk tidak berprasangka buruk. Ia mungkin mencoba menghindar dari suasana ketegangan di antara kami. Ia mungkin ingin bicara tapi sedang mencari waktu yang tepat. Atau mungkin ia memang sedang  sibuk mengurusi organisasi Muhammadiyah dan sekolahnya. Tapi...

Aku maklum. Kusno masih 40 tahun. Usia lelaki yang sedang matang-matanya. Tambahan dia tampan, pandai, dan siapa orangnya yang tak mengenal Bung Karno. Anak dara mana yang tak terpikat olehnya. Ia kini dikelilingi oleh bunga-bunga yang segar. Sedang usiaku sudah 53 tahun, sudah tidak lagi seperti dulu. Kulit tubuhku tidak kencang lagi. Dadaku semakin lisut. Dan aku tak pernah bisa memberinya seorang keturunan.

Jangankan dia, aku pun menginginkan keturunan. Tapi siapakah yang bisa menawar takdir?
Sejak peristiwa malam itu, aku benar-benar gelisah. Naluriku sebagai istri dan perempuan tak bisa dibohongi oleh sebuah keinginan bahwa suamiku itu menginginkan seorang keturunan. Aku mengerti ke mana arahnya.   
Kau tahu, tak perlulah aku mendengar desas-desus orang untuk menebak dan memastikan apa sebenarnya yang telah terjadi di belakangku. Aku sudah hidup puluhan tahun dengan Kusno. Aku bukan hanya tahu setiap inci tubuh suamiku. Tapi juga hafal suasana hatinya. Bahkan aku hafal benar apa yang terkandung dalam perasaannya ketika ia menatap dan bersikap pada seseorang.

Dua tiga hari sejak ia tinggal di rumah kami, aku melihat kilatan yang ganjil pada sorot mata suamiku setiap kali ia menatap anak itu. Bukan sorot mata seorang bapak sebagaimana kami menerima anak itu sebagai anak. Tapi sorot mata seorang lelaki memandang seorang anak dara. Aku juga menemukan keganjilan-keganjilan lain dari perbedaan sikapnya dibanding pada Omi. Tapi ketika itu keganjilan itu tidaklah membuatku menjadi curiga. Ternyata semua itu benar...
(Termenung) Rasanya aku mulai mengerti sekarang. Mengapa suamiku menyuruhku mengantarkan Omi ke Yogja, bahkan menyarankan agar aku singgah menemui sanak famili di Bandung. Aku mengerti sekarang....(Lampu Redup)

Inggit berbaring di tempat tidur. Kusut, wajahnya dingin dan tegang tapi berusaha tenang. Memiringkan tubuhnya, menghadap penonton.

Suamiku tak bisa lagi menahan apa yang dipendamnya. Dia tadi mengajakku bicara tentang keinginannya. Keinginan yang tak bisa didapatnya dariku. Seperti dulu, aku selalu tahu apa yang harus kulakukan agar keinginannya itu terpenuhi. Begitupun kini. 
Kau tahu bukan, apa artinya jika seorang suami yang mengatakan keinginannya untuk memiliki seorang anak pada istrinya yang mandul? Dia sedang meminta ijin padamu untuk menikah lagi. Dan aku tahu siapa perempuan yang ingin dikawini Kusno itu. Dan aku tak tahan untuk tidak menyebut nama itu dengan suara yang gemetar, menahan semua perasaanku,
Fatimah. Anak gadis yang kubawa ke dalam rumah kita dan sudah aku anggap sebagai anakku sendiri

Suamiku terkejut dan ia mendesakku untuk mengatakan dari siapa aku mengetahuinya. Aku hanya diam. Ah, lelaki, sepintar apapun dia, dia akan mengajukan pertanyaan bodoh ketika rahasianya terbongkar. Dari mana aku mengetahuinya, bukankah itu tidak lagi penting. Aku memandang wajah suamiku.

Apakah benar orang itu adalah nama yang tadi kusebut? 

Suamiku mengiyakan. Ia tampak berusaha untuk tenang. Aku masih memandangnya. Lalu ia bilang dengan suara yang gemetar,  

Selama ini Inggit jadi tulang punggungku, jadi tangan kananku selama separuh usiaku. Tapi bagaimanapun aku ingin merasakan kegembiraan menjadi seorang ayah, seorang lelaki yang meneruskan keturunannya.

Aku terdiam. Aku mengerti dan paham benar. Karena itu aku tahu apa yang harus aku lakukan agar keinginannya itu terpenuhi. Keinginan seorang lelaki yang menginginkan keturunan. Lalu suamiku bertanya,

Karena itu apakah Inggit menyetujui keinginanku untuk mengawini Fatimah?

Aku bisa saja langsung menjawabnya, karena bagiku itu adalah pertanyaan yang terlalu mudah. Tapi aku ingin dulu diam, agar kata-kataku tidak menyembur menjadi kemarahan. Rasanya aku tetap dengan tenang ketika mengatakan, Tentu ia bisa kawin dengan Fatimah setelah menceraikan aku.

Suamiku terkejut. Lalu ia bilang,

Inggit, aku tidak bermaksud menceraikanmu

Mendengar omongannya itu tiba-tiba saja darahku mendidih. Aku merasa direndahkan.  Aku menjawab dengan sebuah bentakkan,

Aku tidak memerlukan belas-kasihanmu, Kus!

Kami terdiam. Suamiku lalu kembali bicara dengan suara yang lebih hati-hati, bahwa tak ada sedikitpun dalam niatnya untuk menyingkirkanku. Bahwa justru dia ingin menempatkanku tetap sebagai istri utama dalam kedudukan yang paling terhormat. 

Melihat aku tetap diam, rupanya suamiku tahu seperti apa perasaanku pada Fatimah. Ia bisa maklum hal itu. Lalu ia mengusulkan jalan tengah agar ada keadilan di antara kami.

Sekalipun aku cinta pada Fatimah, aku akan melupakannya seandainya Inggit bisa mendapatkan perempuan yang cocok untukku.    

Tak perlu lama ia menunggu jawabanku,

Tidak, Kusno...

Kalian mungkin akan berpikir sekarang sebaiknya aku minta agar Kusno menceraikanku dan aku pulang ke Bandung. Bukankah semuanya sekarang sudah jadi jelas. Lagi pula, untuk apa lagi aku terus mendampingi laki-laki yang nyata-nyata mendambakan perempuan lain untuk dikawininya.

Tidak. Itu tak akan pernah aku lakukan. Sesakit apapun perasaanku pada Kusno dan Fatimah, aku tak akan meninggalkan Kusno sebagai seorang tahanan dan buangan seperti sekarang. Istri macam apa aku jika meninggalkan suamiku dalam tahanan dan buangan. Apa pun alasannya. Tidak. Sakit sekali, memang. Tapi aku tak mau diperbudak oleh rasa sakit itu.

Baru aku tahu sekarang, bahwa mencintai dan menyayangi itu adalah menerima rasa sakit...(Lampu redup)  

SEBELAS: Suara ledakkan di kejauhan, rentetan tembakan. Inggit berjalan hilir-mudik. Gelisah dan panik

Keadaan dalam rumah kami sama persis dengan keadaan yang terjadi di luar sana. Perang Dunia pecah. Jepang menyerbu Indonesia dan tentara kolonial Belanda tak bisa lagi mempertahankan tanah jajahannya. Dalam situasi genting seperti sekarang pemerintah kolonial tak mau Soekarno jatuh ke tangan orang-orang Jepang. Ia harus disembunyikan. Lalu tiba-tiba malam itu polisi kolonial Belanda mengepung rumah kami. Mereka membawa beberapa mobil. Kami dimasukkan ke dalam mobil itu. Kami dilarikan ke luar dari Bengkulu. Sampai dini hari mobil terus bergerak. Kami dilarikan ke Padang.


Mendengar kota yang akan kami tuju, Kusno memandangku. Membayangkan betapa jauh perjalanan yang akan kami tempuh. Aku balik memandang suamiku. Menggenggam tangannya kuat, memastikan bahwa aku tak akan pernah takut mendampinginya. Hingga siang hari, mobil terus menyusur pantai barat Sumatera. Menyeberangi beberapa sungai besar dengan rakit. Margrib kami sampai di kota kecil Muko-muko. Para pengawal polisi itu mempersilahkan kami beristirahat di sebuah pesangrahan.

Pagi harinya dari kota kecil ini kami meneruskan perjalanan. Tidak lagi memakai mobil. Tapi kami harus berjalan kaki, dan sebuah pedati untuk mengangkut barang. Kami berempat saja, aku, Kusno, Kartika, dan seorang pembantu kami. Empat orang polisi bersenjata mengawal kami. Mereka juga berjalan kaki.
Pedati berjalan paling depan. Kami di belakangnya, di kawal polisi. Hari cerah. Kami melewati dusun-dusun. Lalu lepas tengah hari, kami melewati suasana yang lengang. Hanya pohon-pohon lebat. Makin jauh, mulailah terdengar suara-suara yang seolah menyambut kami dari arah pepohonan. Suara beruk, siamang, dan kera. Kami memasuki hutan belantara.

Kusno memandang ke arahku. Aku memandangnya dan menunjukkan sikap tenang. Meski sebenarnya aku ketakutan, aku tak ingin memperlihatkannya pada Kusno. Aku lega karena ia pun tampak tenang-tenang saja.
Seharian kami berjalan, dan baru berhenti di waktu Maghrib. Kami menemukan dusun kecil dan menginap di sebuah gubuk yang tak terpakai. Penduduk dusun itu menolong kami, meminjamkan cempor tikar, juga memberi beras dan ikan asing sehingga kami bisa makan malam. Lalu mereka berbondong-bondong datang mengirimi kami makanan. Buah-buahan dan ubi rebus. Kami berungkali mengucapkan terima-kasih.      

Dan, kau, tahu, penduduk dusun itu melakukannya bukan karena lelaki tahanan itu adalah Bung Karno, singa podium musuh utama pemerintah Belanda. Bahkan, ketika Kusno memperkenalkan namanya, mereka biasa-biasa saja mendengar nama itu. Seakan tak ada bedanya, apakah lelaki yang mereka tolong itu bernama Soekarno atau Soeratman.

Esok paginya kami kembali meneruskan perjalanan. Kembali masuk ke dalam rimba belantara. Suara siamang, beruk dan kera terus bersahutan mengiringi perjalanan kami. Bahkan dalam kelelahan dan ketakutan itu, kami temukan juga jejak-jejak kaki harimau yang baru saja melintas.
Setelah hampir seharian berjalan, kami merasa hutan mulai menipis. Mulailah kami menemukan satu dua gubuk dan rumah penduduk. Menjelang Magrib kami sampai di sebuah kota kecil. Di kota itulah pengawal polisi menyerajkan kami ke kantor polisi. Dengan mobil dan para pengawal yang baru, malam itu juga kami dibawa ke kota Padang.

Di kota ini tiba-tiba saja tak ada lagi pengawalan pada suamiku sebagai orang tahanan. Kami ditinggalkan di sebuah hotel begitu saja. Kusno bilang, pemerintah kolonial Belanda sudah terdesak oleh bala tentara Jepang. Mereka lari pontang panting menyematkan dirinya sendiri. Bahkan mereka membiarkan kota Padang dalam keadaan kacau. Para pejabat Belanda lebih memikirkan keselamatan diri dan keluarganya. Mereka tak lagi memikirkan bagaimana menyelamatkan penduduk. Rakyat seperti ditinggalkan begitu saja, karena mereka sangat ketakutan.

Di Padang kami akhirnya menumpang pada keluarga dr. Woworuntu. Kenalan semasa di Bengkulu yang kini menetap di Padang. Beberapa hari kemudian Kusno mengatakan kami harus bersiap, karena pemerintah Belanda akan memberangkatkan kami dengan kapal laut ke tempat pembuangan selanjutnya. Kusno bilang, mungkin ke Suriname atau Australia. Aku pun bersiap.

Tapi kapal yang akan membawa kami itu diserang oleh tentara Jepang dan karam di dekat Teluk Bayur. Setelah itu pemerintah Belanda tak lagi mengurusi kami, karena Jepang sudah mendarat di Padang. (Lampu redup)

Inggit mengerjakan sesuatu, persiapan melakukan perjalanan. Wajahnya tampak tenang dan gembira

Tadi Kusno memberitahuku bahwa Jepang akan segera mengirim kami ke Palembang. Di Palembang akan disiapkan kapal yang akan membawa kami ke Jawa. Itu artinya, kami akan pulang. Aku tidak mengerti, mengapa Jepang itu tidak langsung mengirim kami dengan kapal laut dari Padang ke Jawa? Mengapa mesti harus ke Palembang dulu?

Entahlah. Aku tak ingin menanyakannya pada Kusno. Yang jelas, kabar itu buat kami menggembirakan. Kami akan pulang ke Jawa.

Sejak tentara Jepang menguasai kota Padang, mereka langsung mencari Kusno. Rupanya mereka ingin memanfaatkan Kusno untuk mendekati penduduk Hindia Belanda. Dan Kusno juga tahu akan hal itu. Maka tak lama, Kusno pun mendapatkan pelayanan khusus dari tentara Jepang. Termasuk sebuah mobil. Kesibukkan Kusno berpolitik pun dimulai lagi. Termasuk pertemuan-pertemuan dengan orang-orang pergerakkan di Padang dan Bukittinggi.

Akhirnya kami meninggalkan Padang, menuju Palembang. Perjalanan yang menggembirakan karena inilah awal kami menuju Jawa.   Tapi, kau tahu, kegembiraanku tak lama. Berganti dengan persoalan lama yang muncul kembali. Itu terjadi ketika kami singgah di Bengkulu. Kau tentu tahu apa sebabnya.   Meski aku menolak, tapi Kusno bersikeras agar kami bermalam di Bengkulu. Aku terpaksa mengalah. Lagi pula hari sudah terlalu malam untuk meneruskan perjalanan.

Kami menumpang menginap di rumah seorang pengurus Muhammadiyah di Bengkulu. Malam itu aku tidur dengan gelisah, menahan perasaanku. Kusno entah pergi ke mana..

Sampai di Palembang, kami disambut oleh orang-orang pergerakkan. Mereka umumnya adalah pengikut Kusno. Seperti di Padang, Kusno kembali sibuk mengurusi politik. Meski tentara Jepang masih berkuasa, tapi Kusno bilang mereka tak akan lama. Kemerdekaan yang kami idam-idamkan sudah di depan mata. Dan Kusno telah siap memimpin rakyat, seperti yang dulu jadi cita-citanya. Cita-cita yang selalu diceritakannya padaku semasa kami di Bandung.

Kelakuan tentara Jepang sangatlah tidak menyenangkan. Mereka berlaku kasar pada penduduk. Beberapa kali Kusno mengeluhkan hal ini pada pimpinan mereka. Tapi tabiat kasar mereka tak berkurang. Malah juga menimpa kami. Keberangkatan kami ke Jakarta mereka tunda-tunda.
Dua bulan kami di Palembang, tanpa penjelasan kapan kami akan dikirim ke Jawa. Kami benar-benar sudah tidak sabar. Setelah berulangkali mendesak, akhirnya hari itu kami diberangkatkan ke Jawa. Tapi hanya dengan sebuah perahu motor kayu. Panjangnya hanya delapan meter dengan sebuah kamar berukuran kecil. Tak ada kapal lain.

Seperti di Sumatera dulu, kembali kami menempuh perjalanan dan petualangan yang mendebarkan. Dikawal tiga orang tentara Jepang, selama tiga hari kami berlayar dan terapung-apung di laut lepas. Perahu motor kami sesekali berhadapan dengan gelombang dan deru ombak besar. Kami terbanting-banting. Perahu motor kami seperti hendak terbalik.

Aku memeluk Kartika. Kami lelah dan kurang tidur. Tubuhku rasanya betul-betul ringsek. Di tengah guncangan yang mengerikan di tengah laut itu, Kusno sesekali memandangku dengan cemas. Aku balik memandangnya. Melalui mataku aku mengirim pesan pada Kusno, bahwa aku masih bertahan sampai kapan pun dalam perjalanan ini bersamanya.

Sore hari ketiga, sampailah kami di Pelabuhan Pasar Ikan Jakarta. Teman-teman lama seperjuangan lalu berdatangan menemui kami di dermaga. Anwar Tjokroaminoto, Sartono, Muhammad Yamin, juga Hatta. Kami berpelukkan. Dan yang paling membahagiakan kami adalah kedatangan Omi anakku. Kami kembali ke Jawa. Menyusun kembali perjuangan. Kemerdekaan sudah begitu dekat.

DUABELAS: Inggit membuat air asam (wedang asam). Pakaiannya rapih. Sayup terdengar suara orang pidato dalam sebuah rapat politik 

Aku merasa kembali ke masa dulu, kegairahan perjuangan. Rapat politik, pidato Kusno yang berapi-api, tepuk tangan dan orang-orang yang mengelu-elukannya.
Sampai di Jakarta, tanpa menunggu waktu lama Kusno segera menemui Hatta dan Syahrir. Kusno ceritakan padaku, bagaimana mereka bertiga kini melupakan semua pertikaian di masa lalu. Mereka mengikat perjanjian untuk bersatu demi kemerdekaan. Aku lega mendengarnya. Menghadapi tentara Jepang, ketiganya menyusun siasat. Kusno dan Hatta akan masuk bergabung dengan “Tiga A” yang dibentuk Jepang, sedang Syahrir akan menempuh jalan lain.

Tak lama aku mendampingi Kusno melakukan perjalanan keliling Jawa Timur dan Jawa Tengah. Seperti dulu, tak ada yang dilakukan Kusno selain berpidato di hadapan ribuan rakyat yang menyambut dan mengelu-elukannya. Kusno menemukan kembali semangatnya yang dulu. Bahkan kini lebih bersemangat.
Setiap malam ia ceritakan padaku semua rencana dan apa yang dipikirkannya. Termasuk memanfaatkan kedekatannya dengan Jepang untuk menyiapkan kemerdekaan. Bukan seperti apa yang diinginkan oleh Jepang. Seperti dulu, aku hanya bisa diam mendengarkan semua ceritanya. Larut ke dalam semangat dan keyakinannya.  

Akhirnya gerakan “Tiga A” itu dibekukan. Kusno lalu membentuk Putera, Pusat Tenaga Rakyat. Organisasi ini bertujuan mendidik kemandirian rakyat. Aku pun aktif di dalamnya. Tak hanya di dapur umum, tapi juga memberi contoh bagaimana menghadapi kesulitan bahan makanan. Di halaman depan dan belakang rumah kami, aku menanam singkong, pepaya, dan ubi jalar. Di radio-radio umum, Kusno berpidato dan menyebut namaku untuk dijadikan contoh perempuan-perempuan lain. Menanam jagung, pepaya, dan bahan makanan lainnya.

Berbulan-bulan kami tenggelam dalam kesibukkan perjuangan. Di tengah itu semua diam-diam aku merasa betapa hubunganku dengan Kusno kian berjarak. Sekarang aku hanya bisa mengenang saat-saat manis kami dulu di Bandung dan di Endeh.

Aku maklum, ia sekarang begitu sibuk dan banyak hal yang harus dipikirkannya. Ia sekarang sudah jadi pemimpin, jadi tumpuan semua orang di negeri ini. Tapi tampaknya bukan itu benar. Aku mencium ada sesuatu yang tak beres dengan dirinya. Terutama dalam sikapnya terhadapku. Sikap yang semakin dingin.

Ah, rasanya aku mulai tahu. Badai itu akan datang lagi. Desas-desus dan pergujingan kembali mengelilingiku, seperti ribuan lebah. Di tengah gunjingan itu aku merasa sendirian. Orang-orang tak berani bilang apa pun padaku, selain hanya memandangku dengan rasa kasihan. Dan aku tak suka diperlakukan seperti itu.
Gusti, suara desas-desus itu, dan bau menyengat itu kembali. Aku diguncang dan diombang-ambing... (Lampu redup)

Inggit duduk di kursi tak jauh dari pintu yang terbuka dengan cahaya terang di luar. Sorot matanya dingin.

Aku sudah bicara dengan Kusno. Kami harus saling memastikan. Dan kami sudah menemukan kepastian itu. Kepastian bahwa perbedaan kami tidak bisa dipertemukan lagi. Dia bersikukuh bahwa ia menginginkan keturunan. Nama Fatimah disebutnya lagi setelah aku mendesaknya. Ya, dia akan tetap mengawini Fatimah.
Aku paham benar alasannya. Lelaki mana yang tak ingin punya keturunan, seperti juga perempuan mana yang ingin mandul seperti aku ini. Karena itu aku juga paham jika Kusno tak bisa menerima takdir tubuhku yang tak bisa memberinya seorang anak. Apalagi aku sudah tua begini.

Aku tahu diri. Tapi, bukan lantas karena takdirku itu aku harus menerima apa yang diinginkannya. Meski sekali lagi Kusno tadi bilang bahwa aku akan tetap menjadi perempuan dan istri utama. Tapi itu tak berlaku bagiku. Ceraikan aku atau tinggalkan Fatimah. Harga diriku lebih utama dari istana.

Kalau begitu. Aku minta pengertian Inggit. Perkawinan kita tak bisa lagi dipertahankan  
Begitu dia bilang. Aku memandangnya dengan tenang, dan kukatakan, (Inggit melepas gelung rambutnya, membiarkan rambut kini terurai)

Baik. Dan Kus sudah tahu jawabanku sejak di Bengkulu. Kita akhiri ini semua ini dengan baik-baik
(Musik Sunda, kecapi suling yang liris menyayat)

Duh, ampun, Gusti. Dulu seseorang memasuki rumahku
Seorang lelaki yang dibawa suamiku. Lelaki muda yang tampan
dan pintar. Lelaki muda yang padanya aku jatuh cinta
Mengalahkan cintaku pada suamiku.

Kupilih lelaki itu. Dan kukorbankan suamiku.
Aku ikuti kemana pun ia pergi. Tapi kini suamiku pun
menikahi anak dara yang kami bawa
Masuk ke dalam rumah kami

Duh, ampun, Gusti. Inikah karmamu itu?

TIGABELAS:  Panggung kembali ke adegan pertama.  Wajah Inggit dingin, rambutnya tergerai.  Ia memasukkan satu persatu pakaiannya ke dalam kopor.  Lalu terdengar suara seseorang seperti membacakan dongeng.

Duapuluh tahun aku menemaninya. Mengikutinya ke mana pun. Tak pernah ada kata lain yang diucapkannya pada kolonialisme, kecuali kata “Tidak”. Jika ia berani mengatakan “Tidak” pada kolonialisme, mengapa aku mesti tidak berani mengatakan hal yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku perempuan sebagai sebuah koloni lelaki. Apapun alasan yang dipakainya.

Seperti tanah air yang dibelanya, aku bukanlah sebuah koloni. Jangan hanya karena tubuhku tidak ditakdirlan menjadi tubuh seorang ibu, lantas aku tak berhak mengatakan “Tidak”.  Dan kau tahu bukan, apa yang dia katakan agar aku jangan mengatakan “Tidak”

Meski aku mengawininya, tapi Inggit tetaplah wanita utama, istri utama”.

(Tersenyum dingin). Banyak sekali sanjungan yang dibuat untuk perempuan yang mau patuh dan diam pada kemauan lelaki. Buatku sanjungan itu adalah muslihat. Biarlah aku tak pernah menjadi wanita utama atau istri utama karena aku telah mengambil hakku atas kata “Tidak”. Harga diriku tak bisa ditukar dengan sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.  

Biarlah ini pula yang menjadi ujung semua kisah perjalananku mendampingi Kusno. Ketika ia sudah dekat dengan apa yang mimpikannya. Memimpin tanah air di ambang kebebasan.
Sebagai istri, tugasku sudah selesai. Dan sebagai perempuan aku sudah menunaikan kewajibanku, mengatakan “Tidak” pada kemauan seorang lelaki bernama Kusno. Dan demi kata itu, baik aku memilih kembali ke Bandung. Membawa kembali peti tua ini dan semua harga diriku...   
Tapi satu hal yang ingin aku katakan padamu tentang Kusno, aku tetap  menyayanginya...

(INGGIT MENENTENG KOPERNYA MENUJU PINTU DENGAN CAHAYA YANG TERANG DI LUAR)**

Cilame, 2011

CATATAN : Naskah monolog ini berhutang banyak pada dua sumber utama: Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno karya Ramadhan K.H. dan Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat  karya Cyndi Adams. Naskah Monolog ini pertama kali dipentaskan di GK. Sunan Ambu STSI Bandung, 22 Desember 2011, produksi mainteater Bandung, Pemain: Happy Salma. Sutradara: Wawan Sofwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar