INGGIT
(Sebuah monolog)
---Ahda Imran
SATU: Panggung Redup
(Intro) Musik
kecapi suling, sayup-sayup. Inggit berada dalam kamar yang tampak
berantakan. Sebuah tempolong tergelak di lantai karena dilemparkan.
Wajah Inggit dingin, rambutnya tergerai. Ia memasukkan satu persatu
pakaiannya ke dalam kopor. Lalu terdengar suara seseorang seperti
membacakan dongeng.
Ningrum
Kusuma begitu nama puteri itu. Ia dipanggil juga dengan nama
Kusumaningrum. Begitu mula cerita. Ia seorang puteri yang cantik, luhur
budinya, amat dicintai oleh seluruh penghuni istana dan dicintai
rakyatnya. Ia pun amat setia pada suaminya, seorang raja yang
bijaksana. Ketika suatu kali suaminya menaklukkan negeri lain, negeri
taklukkan itu mempersembahkan seorang putri kepada suaminya sebagai
persembahan. Seorang putri cantik bernama Jembawati. Karena putri itu
masih teramat muda, maka ia diserahkan pada Kusumaningrum untuk diasuh.
Dan sebagai ratu, Kusumaningrum mengasuh dan mendidiknya dengan baik
layaknya seorang kakak pada adiknya. Jembawati pun tumbuh menjadi gadis
yang cantik, dan diam-diam ia mulai melemparkan senyum dan kerling mata
pada raja.
Raja tergoda dan berterus terang pada Kusumaningrum untuk menikahi Jembawati. Meski sangat sakit hati, tapi Ratu Ningrum hanya bisa menyerah pada takdir. Perempuan yang diasuhnya kini merebut suaminya. Tapi Ratu Ningrum tidak membenci. Sebagai istri yang setia ia harus berkorban demi kebahagian suaminya untuk mendapat kepuasan dari Jembawati. Tapi kebaikan Ratu Ningrum dibalas Jembawati dengan kebusukkan. Ia memfitnah Ratu Ningrum sampai ia dibuang oleh raja. Raja yang bertekuk di bawah kaki Jembawati yang jahat akhirnya membuat negara itu hancur”
Raja tergoda dan berterus terang pada Kusumaningrum untuk menikahi Jembawati. Meski sangat sakit hati, tapi Ratu Ningrum hanya bisa menyerah pada takdir. Perempuan yang diasuhnya kini merebut suaminya. Tapi Ratu Ningrum tidak membenci. Sebagai istri yang setia ia harus berkorban demi kebahagian suaminya untuk mendapat kepuasan dari Jembawati. Tapi kebaikan Ratu Ningrum dibalas Jembawati dengan kebusukkan. Ia memfitnah Ratu Ningrum sampai ia dibuang oleh raja. Raja yang bertekuk di bawah kaki Jembawati yang jahat akhirnya membuat negara itu hancur”
INGGIT
( terus memasukkan pakaian ke dalam kopor)
Sudah
kuduga, kalian pasti akan menyebut Jembawati itu perempuan yang tidak
tahu diuntung. Anak seorang taklukkan yang dinaikkan derajatnya oleh
Ratu Ningrum, tapi dia malah menikam. Dia membalas budi baik dengan
kejahatan. Tapi buatku ini bukan soal siapa yang salah dan siapa yang
kaliang anggap benar. Kalian bayangkan, seorang gadis muda memandang
seorang lelaki yang gagah, elok parasnya, berkuasa, dan pandai. Anak
dara itu pun tahu benar jika dia cantik. Dan sebagaimana kodratnya
perempuan, dia faham benar apa yang paling disukai lelaki dan bagaimana
melumpuhkannya. Senyum dan kerling mata. Anak dara mana yang tak akan
memberikan itu semua pada lelaki elok rupa seperti Raja. Dan lelaki mana
yang bisa memalingkan wajahnya dari anak dara secantik dia? Apalagi dia
seorang Raja. Nah, apakah kau akan tetap mengatakan bahwa dia salah
tanpa apapun yang membuatnya melakukan perbuatan yang salah? Tak ada
salah tanpa musabab.
Aku
lebih suka mengatakan bahwa yang bersalah itu adalah Ratu Ningrum.
Setidaknya dia bukanlah perempuan yang meski dikasihani benar. Kau tahu,
kesalahan Ratu Ningrum adalah ia tak memiliki satu kata, yaitu,
“Tidak”. Karena ia tidak mempunyai kata itu, maka ia biarkan Raja
menikahi Jembawati. Karena ia tidak mempunyai kata itu, dia biarkan
suaminya dikuasai oleh Jembawati.
Entah
siapa yang mengajarinya bahwa perempuan ditakdirkan untuk tidak
memiliki kata “Tidak”. Entah siapa yang mengajarinya bahwa kata itu
hanya milik para lelaki. Takdir perempuan diatur oleh takdir para
lelaki. Takdir yang mengatur kata mana yang boleh dan tidak boleh
dimiliki oleh perempuan. (Lampu Redup)
DUA:
Panggung terang. Inggit masih muda. Belasan atau Duapuluh tahunan.
Memakai pakaian ronggeng atau yang mengingatkan orang pada penari
ronggeng. Musik sayup.
Kerling mataku gerak kelopak air sungai.
Kubiarkan para lelaki terapung-apung di atasnya.
Mereka seperti sekumpulan abdi yang berbaris dan memberi sembah,
lalu berjalan satu persatu ke hadapanku membawa persembahan.
Tanpa kuinginkan, kerling mata, senyum, dan tubuhku
telah menjelma pusaran air yang menghisap. Dalam tubuku
seolah ada mahluk lain yang membuat semua orang menyayangiku.
Jika kecantikan memberi perempuan dua pilihan, antara anugerah
dan kutukan, maka aku bukanlah kutukan itu. Kecantikan telah mengantarkanku
menemukan diriku sebagai perempuan dengan kaki yang lebih kukuh.
Kecantikan telah membuat para lelaki dan semua orang menjadi tawanan
dan taklukkanku.
Aku
lahir di Banjaran, di Desa Kamasan. Sejak kecil aku hidup dengan
pertanyaan, mengapa semua orang menyayangiku? Akhirnya, aku menemukan
jawabannya sebagai sesuatu yang tetap tak terkatakan. Pindah ke Bandung,
satu-satunya yang kuketahui, di mana pun aku berada, terlebih di tengah
keramaian orang-orang berebut mengungkapkan rasa sayangnya padaku.
Duhai, aku dilimpahi berbagai hadiah dan uang. Di pasar dan di
alun-alun, aku selalu menemukan orang-orang yang memberiku persembahan.
Uang, oleh-oleh, atau sekadar ketakjuban mereka padaku.
Lalu
uang seringgit pun bukan lagi hanya uang ketika aku selalu menerimanya
sebagai persembahan. Ah, menggelikan sekali cara mereka memberikan uang
itu. Selalu saja diam-diam. Malah, kau tahu, ada yang memberikannya
dengan cara melemparkan sepotong pecahan genting dengan ikatan uang
seringgit. Bahkan aku masih terus menerima pemberian mereka meski aku
sudah menjadi istri seorang Kopral Residen, Kang Nataatmadja.
Kau
pasti akan bilang, sangat tidak pantas seorang istri menerima pemberian
dari lelaki lain selain suaminya. Itu benar. Tapi siapakah yang bisa
mencegah orang untuk menyayangiku dan mengungkapkan rasa sayangnya?
Lama
kelamaan aku dikenal dengan sebutan “Seringgit”. Hmmm...kalau kalian
mengira panggilan itu sebagai sebuah harga untuk mendapatkan
perhatianku, maka itu tidaklah seperti yang kalian pikirkan. Ada yang
lebih dari sekadar uang dalam hidup ini, begitu pula dalam cara setiap
orang mengagumi. Aku menerima dan tidak terganggu dengan panggilan itu,
sampai lalu nama “Seringgit” menjadi “Inggit”, dan aku suka dengan nama
itu. Terdengar manis, “Inggit”.
Sebelum aku
menikah dengan Kang Nata, aku sudah berkasih-kasihan dengan Kang Sanusi.
Kang Uci, begitu aku memanggilnya. Dia orang yang cukup kaya di
Bandung. Dia pengurus Sarekat Islam di Bandung.
Ah,
Sungai Cikapundung adalah kenangan manisku dengan Kang Uci. Jika aku
sedang mandi, dari arah mudik Kang Uci sering menghanyutkan tempurung
buah maja yang diikat dengan benang. Tempurung itu hanyut dan
terapung-apung ke tempat aku mandi. Di dalam tempurung itu aku menemukan
pecahan uang logam...
Tapi,
tiba-tiba Kang Uci dijodohkan. Aku tidak tahu apakah Kang Uci menerima
perjodohan itu karena memang terpaksa atau tidak, yang jelas aku
ditinggalkan dan merasa sakit hati. Sakit hati itulah yang aku tumpahkan
dengan menerima lamaran Kang Nata.
Ya,
jahat sekali aku ketika itu. Menerima Kang Nata bukan dengan cinta,
tapi hanya memanfaatkannya untuk meluapkan dan sekaligus melupakan Kang
Uci. Karena aku memang tidak pernah bisa mencintai Kang Nata, maka
perkawinan kami hanya sebentar. Kami bercerai, dan kiranya Kang Uci pun
sudah bercerai dari istrinya. Cinta kami yang lama tumbuh lagi dan
akhirnya kami kawin.
Di tengah perkawinanku dengan Kang Uci itulah Kusno muncul...(Lampu Redup)
TIGA: Inggit memakai kebaya. Wajahnya segar. Ia menggenggam bunga cempaka kuning.
(Tersenyum
menerawang). Kusno bilang, “Sekuntum bunga merah yang elok melekat di
sanggulnya”. Begitu dia menceritakan awal pertemuan kami dulu di
Bandung. Entah kenapa dia mengatakan bunga itu warna merah, padahal
bunga itu warnanya kuning.
Ada
surat dari Surabaya, dari Pak Tjokroaminito untuk suamiku Kang Uci.
Dalam surat itu Pak Tjokro minta tolong agar suamiku mencarikan
pemondokan untuk menantunya yang akan bersekolah di Bandung, di THS.
Kami lantas berpikir tentang pemondokan itu, tapi tetap tidak ada. Semua
pemondokan di Bandung sudah penuh. Ada juga pemondokan yang kosong,
tapi sudah reyot dan tidak pantas rasanya untuk seorang student. Apa
nanti kata Pak Tjokro, menantunya kami tempatkan di pemondokan semacam
itu.
Tiba-tiba
saja Kang Uci mengatakan tak ada salahnya jika menantu Pak Tjokro itu
kami tempatkan di kamar depan rumah kami saja. Aku keberatan, tapi Kang
Uci bersikeras. Lagi pula adanya student di rumah kami bisa membuat kami
bangga. Akhirnya aku mengalah. Dia akan tinggal di rumah kami.
Kang Uci, mengapa akang memintaku mengalah?
Duhai, siapakah yang membawa takdir itu
ke dalam rumah kita... (Lampu redup)
INGGIT DUDUK SAMBIL MENJAHIT KUTANG. MEMAKAI KEBAYA DAN SANGGUL DENGAN SUNTINGAN BUNGA CEMPAKA KUNING.
Kusno,
menantu Pak Tjokro, lelaki yang kelak kalian kenal dengan Bung Karno
itu akhirnya datang. Kang Uci menjemputnya ke stasiun Bandung. Anak
muda yang pesolek. Memakai pakaian putih-putih. Ia mengenakan peci
kebanggaannya. Peci yang disebutnya sebagai lambang semangat kaum
pribumi. Sorot matanya tajam penuh semangat yang bergelora, tapi sangat
menyejukkan.
Aku
pernah dulu melihatnya ketika Kang Uci membawaku ke Surabaya menghadiri
rapat Sarekat Islam. Di situ aku melihat menantu Pak Tjokro itu
berpidato. Dengan suaranya yang menggeledek, pandai sekali ia membuat
semua orang terpana. Ia menyeru untuk berkata “Tidak” pada kolonialisme.
Kusno
itu anak muda yang menyenangkan. Dengan logat Jawa-nya dia pandai benar
bergaul dan tidak ingin dilayani berlebihan. Tambahan lagi, dia pemuda
yang hangat dan periang. Beda benar dengan Kang Uci yang pendiam.
Tak usah cari tempat lain. Saya senang tinggal di sini. Saya mau di sini saja.
Begitu katanya ketika Kang Uci menjelaskan padanya tentang pemondokan yang lain. Dia mengatakannya sambil memandang ke arahku.
Kedatangan
Kusno telah mengubah suasana rumah kami. Apalagi namanya sudah mulai
dikenal di tengah kaum pergerakan, dan Kusno pandai sekali bergaul
dengan kaum student yang ada di Bandung. Rumah kami jadi ramai dengan
kedatangan teman-teman Kusno.
Mereka
bercakap-cakap membicarakan banyak hal tentang kaum pergerakan dan
politik. Dan di tengah percakapan itu kulihat Kusno sangat menonjol dan
disegani. Mungkin orang bisa memakluminya. Bukan karena dia menantu Pak
Tjokro, tapi juga murid kesayangannya. Aku sering melihat bagaimana
teman-temannya memandang ke arah Kusno dengan kagum ketika ia
menjelaskan pandangan dan pikirannya. Ia begitu yakin dengan
kata-katanya. Kurasa itulah yang membuat kata-katanya seperti sebuah
sihir.
Kedatangan
para student ke rumah kami tentu saja membuat aku selalu sibuk melayani
mereka. Menyediakan minuman dan makanan. Tapi aku merasa senang
melakukannya. Rumah kami tidak lagi sepi seperti dulu. Kini rumah kami
dipenuhi oleh para student yang penuh gairah.
Tapi
ke manakah suamiku, Kang Uci? Suamiku seperti sengaja menjauh dari para
student itu. Walaupun Kang Uci pengurus Sarekat Islam, kulihat Kang Uci
tidak begitu bergairah untuk bergabung ke dalam percakapan mereka.
Mungkin
karena usianya yang sudah sepuh, Kang Uci lebih memilih kesibukannya
sendiri. Bahkan sejak kedatangan Kusno, Kang Uci hanya sesekali
bercakap-cakap dengan pemuda itu. Jarang sekali ia mau berlama-lama
berbicara dengan Kusno. Ia lebih suka pergi sampai larut malam ke
tempat bilyar. Aku pun menjadi jarang bertemu dengan suamiku itu.
Tiba-tiba sebuah jurang seperti mulai menganga di antara kami...(Lampu Redup)
EMPAT:
Inggit membenahi piring dan cangkir-cangkir kopi di atas meja bekas,
sisa dari sebuah pertemuan. Lalu duduk kembali sambil membersihkan peci
atau membuat kopi tubruk.
Berganti
hari dan pekan Kusno makin menjadi bagian dari rumah kami. Bahkan kian
menjadi bagian dari kesibukanku. Tapi aku senang melakukannya, termasuk
menyiapkan kopi tubruk kesukaannya setiap pagi sebelum ia pergi ke
sekolah. Suatu hari Kusno kembali ke Surabaya menjemput Utari istrinya
dan membawanya ke Bandung, tinggal bersama kami. Usia Utari masih 16
tahun dan mereka kelihatan seperti dua kakak beradik ketimbang sebagai
suami istri.
Suatu
malam di tengah rumah ketika kami hanya berdua saja, Kusno bercerita
padaku tentang pernikahannya dengan Utari. Kusno bilang, ia menikahi
Utari tak lebih karena rasa hormatnya pada Pak Tjokro. Guru yang sudah
menjadi orang tuanya sendiri. Karena itulah sayangnya pada Utari adalah
sayang seorang kakak pada adiknya. Bukan rasa cinta suami pada istrinya.
Kami
berdua tidur seranjang, dan hanya tidur berdampingan. Meski secara
hukum dia istriku tapi aku merasa bahwa aku sedang tidur berdampingan
dengan adikku
Begitu
dia bilang. Seperti kalian, aku pun bisa saja tak percaya. Bisakah
seorang pemuda 20 tahunan tidak muncul birahinya tidur seranjang saban
malam dengan seorang dara 16 tahun, dan itu adalah istrinya? Apakah
perasaannya sebagai kakak bisa mengalahkan kodrat birahinya sebagai
lelaki? (Tersenyum-senyum) Aku tahu birahi lelaki, apalagi lelaki seusia
Kusno.
Tapi,
kau tahu, bukan pertanyaan itu yang kupikirkan. Tapi mengapa ia
menceritakannya hal semacam itu padaku? Mengapa pada aku Kusno bercerita
tentang persoalan perkawinannya seolah-olah ia sudah begitu dekat
denganku?
Mungkin
begitulah cara lelaki, membuka dan mengeluhkan kehidupan pribadinya
pada seorang perempuan untuk memulai sebuah hubungan yang diinginkannya.
Dengan bercerita semacam itu ia seolah-olah sedang memberi kepercayaan
dan kehormatan pada perempuan itu, sehingga perempuan itu merasa
tersanjung.
(Pada
penonton perempuan) Karena itu hati-hatilah jika ada lelaki yang
tiba-tiba saja bercerita dan mengeluh padamu tentang kehidupan
pribadinya. Apalagi tentang istri atau kekasihnya.
Ah,
tidak, mungkin aku berlebihan menilai diriku. Siapalah aku, dan Kusno
juga tahu kalau aku istri Kang Uci. Mungkin saja benar dia butuh orang
yang mau mendengar keluhannya. Sebagai student dan orang pergerakan,
Kusno tentu tidak mungkin menceritakan hal semacam itu pada sembarang
orang.
Aku
tidak tahu apa yang harus kukatakan. Aku hanya bisa merasakan bagaimana
sebuah perkawinan yang bukan karena rasa cinta. Tapi kukatakan juga
pada Kusno agar ia memperbaiki hubungannya dengan Utari.
Dan
seperti kuduga, hal itu tidak mungkin. Sekali lagi, aku mengerti
bagaimana sebuah perkawinan tanpa rasa cinta. Dan akhirnya, Kusno memang
menceraikan Utari. Membawanya kembali ke Surabaya, mengembalikannya
pada Pak Tjokro. Aku bersyukur semuanya terjadi secara baik-baik.
Sejak
saat itu pelan-pelan seperti ada jarak yang terurai antara aku dan
Kusno. Banyak malam kami habiskan bercakap-cakap berdua di tengah rumah.
Dan kau tentu tahu, malam adalah ruang di mana suara bisa menggema ke
dasar yang tak pernah diduga.
Aku
pun mulai menyelam ke dalam diri Kusno. Mulai menemukan banyak ruang
dalam dirinya yang tak diketahui semua orang. Anak muda yang bergelora.
Singa podium yang menggetarkan semua orang. Tapi ketika ia masuk kembali
ke dalam dirinya, ia seolah tak menemukan siapa pun. Ia hanya bisa
berbicara sendiri dengan bayangan dirinya. Bayangan yang pelan-pelan
mencekik lehernya..
Lalu
apakah ia menemukan aku sebagai orang yang telah melepaskan cekikan
itu? Entahlah. Yang terang banyak sekali ia bercerita padaku. Tentang
cita-citanya, dunia pergerakan, teman-temannya, atau tentang teguran
para profesornya agar ia lebih memperhatikan sekolahnya dan berhenti
mengurusi politik.
Pulang
dari mana pun atau apapun peristiwa yang dialaminya, ia akan selalu
menceritakannya padaku, seperti seorang anak yang bercerita pada ibunya
sepulang ia bermain.
Pelan-pelan
aku pun mulai menemukan sesuatu yang genting dalam perasaanku. Sesuatu
yang semestinya cepat kubuang. Tapi nyatanya, ketika suatu malam Kusno
mengatakan bahwa ia menyukaiku, aku tak bisa menyangkal perasaan itu.
Juga dalam kegentingan yang lain, ketika di malam yang lain Kusno
memerlukan apa yang lebih dari sekadar kata-kata. Ketika tubuh kami tak
bisa lagi saling menyangkal. Aku pasrah...
Duhai, lelaki penggelisah, masuklah ke dalam tubuhku
Biar kuhirup nafas dan bau tubuhmu. Kita adalah keindahan
sekaligus kejahatan.
Kang Uci, akang di mana?
Akang dengar nafas kami memburu?
Lelaki yang dulu akang bawa ke dalam rumah kita,
kini aku membawanya ke dalam tubuhku... (Lampu redup)
Inggit duduk di tepi ranjang. Wajahnya campuran dari penyesalan dan kebahagiaan
Mudah
kuduga, apa yang sedang kau pikirkan tentang diriku. Seorang ibu kost
yang kesepian yang tidur dengan seorang pemuda, hanya karena suaminya
sudah tua dan jarang di rumah. Seorang istri yang tidur dengan lelaki
lain selalu dianggap lebih hina ketimbang sebaliknya.
Jika
aku menjadi salah seorang dari kalian, aku pun akan mengatakan hal yang
sama. Kita memang selalu memaafkan tubuh lelaki. Memakluminya, karena
merekalah yang mengatur moral tubuh perempuan, dan moral itu sering tak
berlaku bagi tubuhnya.
Jangan
kau sebut aku tak menyesal. Aku telah berbuat serong, bukan hanya
perasaan dan hatiku, tapi juga aku telah berzinah. Aku tak akan pernah
membela diri dengan mengatakan semua ini tak akan pernah terjadi
seandainya Kang Uci menolongku. Tidak membiarkan perasaanku terus tumbuh
terhadap Kusno. Tidak membiarkan kami terus berduaan sepanjang malam.
Tidak membiarkan aku terus melayaninya setiap hari.
Tidak. Aku tak akan pernah berdalih seperti itu.
Kusno
lantas mengajakku bicara. Ia mencintaiku dan ingin mengawiniku. Ia akan
memintaku pada Kang Uci. Ya, Tuhan, apa sebenarnya yang terjadi di
antara kami di rumah ini. Kau bayangkan, bagaimana mungkin seorang
lelaki mencintai istri orang lain bahkan memintanya? Aku bisa merasakan
bagaimana sakitnya Kang Uci. Terlebih lagi ketika ia tahu bahwa aku pun
menyayangi Kusno dan bersedia bercerai dengan Kang Uci agar kami bisa
menikah.
Lalu
kalian membaca dalam banyak riwayat tentang kami, bagaimana Kang Uci
dengan ikhlas mengalah. Menceraikan dan menyerahkanku pada Kusno. Kang
Uci melakukakannya sebagai sebuah pengorbanan demi masa depan Kusno yang
kelak akan menjadi pemimpin tanah air.
Benarkah
begitu? Benarkah Kang Uci tulus melepaskan aku dan menyerahkannya pada
Kusno, laki-laki yang telah berbuat serong dengan istrinya? Apakah
sebodoh itu dia melakukan pengorbanan? Bukankah aku dan Kusno sudah
menghina harga dirinya sebagai lelaki dan seorang suami?
Jika
kau bertanya seperti itu padaku, aku tak bisa menjawabnya. Satu hal
yang terang, aku dan Kusno telah menyakitinya. Dan Kang Uci tentu sangat
merasakannya. Tapi satu hal yang lain, aku juga tak bisa lagi
menyangkal bahwa aku mencintai dan menyayangi Kusno. Begitu besar cinta
dan sayangku pada Kusno sehingga aku rela mengotori tubuh dan harga
diriku sebagai perempuan dan seorang istri.
Entah
apa dan bagaimana suasana pembicaraan Kusno dan Kang Uci. Semua lalu
terjadi. Kang Uci menceraikanku baik-baik, dan setelah masa idah aku
menikah dengan Kusno. (Lampu Redup)
LIMA:
Ingit meracik jamu atau membuat bedak. Di dekatnya juga terdapat
beberapa lembar kutang yang belum dikerjakan. Ada juga meja kecil dengan
teko kopi di atasnya, atau bisa juga beberapa cangkir bekas-bekas
percakapan sejumlah orang.
Suamiku
yang sekarang bukanlah seperti dua suamiku sebelumnya. Ia hanya seorang
student. Anak muda dengan cita-cita besar memimpin rakyat membebaskan
tanah air dari penjajahan. Aku memaklumi benar hal itu. Ia seseorang
yang berjuang menyediakan seluruh diri dan waktunya untuk masa depan
bangsa dan tanah airnya. Dan demi hal itulah aku bekerja mencukupi
kehidupan kami.
Padahal
ini adalah tahun yang berat. Tapi aku selalu mencari akal untuk
menutupi semua kebutuhan. Syukurlah selalu ada saja rejeki. Untuk makan,
menjamu teman-teman Kusno yang hari setiap hari berdatangan, atau untuk
uang saku suamiku jika ia berpergian menemui teman-teman pergerakan. Ke
rumah Dr. Tjipto, Douwes Dekker, atau ke rumah Sosrokartono.
Aku
membangunkannya, menyediakan kopi tubruk dan sarapan, menjadi nyonya
rumah dan pelayan kalau teman-temannya berdatangan, mendengar semua
cerita dan keluhannya, dan memuaskannya. Selepas itu aku harus bekerja
agar kami bisa tetap bisa bertahan.
Setelah
menjadi istri Kusno, aku makin jauh mengerti siapa suamiku. Singa
podium itu tetaplah seorang lelaki. Anak muda yang selalu padaku minta
disayang dan dimanja. Di dengar cerita dan keluhannya. Aku tahu benar
bagaimana memuaskan dan menenangkannya.
Aku
memang bukan perempuan student dan orang pergerakkan seperti Suwarsih
Djojopuspito atau Suwarni, perempuan yang pernah berdebat dengan Kusno
dalam sebuah rapat pemuda. Atau orang yang punya cukup pengetahuan
tentang politik, pintar ngomong Belanda dengan setumpuk buku di
rumahnya. Tapi dari cara Kusno menyayangiku, rasanya aku mulai tahu
bahwa tak semua yang diperlukannya ada di dalam buku atau di antara
student.
Pelan-pelan
aku mengerti hal itu. Dan itulah yang kuberikan padanya dengan
sebaik-baiknya memberikan semua yang dibutuhkannya. Dengan menjadi istri
Kusno barulah aku mengerti, bahwa mencintai itu adalah melayani.
Menjadi pelayan dari orang yang kita sayangi.
Tapi
Kusno tak lantas menjadi seorang Tuan. Ia seorang lelaki yang lembut
dan amat menghargaiku. Ia tahu perbedaan di antara kami, usiaku yang
lebih tua dan pendidikannya yang lebih tinggi. Ia pernah bilang, bahwa
seseorang bukan dinilai dari pendidikan, intelek, atau keluasan
pengetahuannya, tapi dari budi kasihnya sebagai seorang manusia.
Menjadi
istri Kusno bagiku adalah hidup bersama seorang lelaki yang selalu
digelisahkan oleh nasib bangsa dan tanah airnya. Dan aku berada di dalam
kegelisahan itu. Menjaga dan merawat semangatnya. Bukan sekali dua kali
ia jadi beringasan seperti ombak laut yang mengamuk, sehingga aku harus
menenangkannya.
Student
dan orang-orang pergerakan sudah lama mengenal namanya. Murid
kesayangan Ketua Sarekat Islam Tjokroaminoto. Seperti gurunya, Kusno tak
hanya pandai berdebat, tapi juga radikal dan penuh keberanian. Karena
itulah tak aneh jika profesornya di THS sering mengingatkan Kusno bahwa
ia harus menjauhi politik jika ia ingin jadi insinyur.
Bukan
sekali dua kali pidatonya dalam rapat-rapat umum jadi perhatian polisi.
Bukan sekali dua kali juga kami diawasi dan dibuntuti oleh para
cecunguk spion polisi. Tulisan-tulisan Kusno di beberapa surat kabar
juga begitu, radikal dan selalu menyeru setiap orang untuk berani
mengatakan “Tidak” pada kolonialisme.
Apakah
aku takut bersuamikan orang seperti Kusno? Tidak. Aku sama sekali tak
gentar karena tahu siapa yang kudampingi dan apa yang diperjuangkannya.
Aku sudah larut ke dalam darah Kusno. Seperti aku menyatu dengan
tubuhnya, semangatku pun sudah bersatu dengan semangat suamiku. Meski
aku hanya menjadi istri yang melayani semua kebutuhannya.
Ke
mana pun kami pergi mengunjungi kerabatku, tak lain yang dibicarakan
Kusno pada semua orang kecuali nasib bangsa dan kejamnya para penjajah
yang menghisap dan menindas. Tak ada kesempatan yang dilewatkannya untuk
menggugah kesadaran orang agar sadar pada nasib tanah air, bersatu
mengatakan “Tidak” pada penjajah. Dan aku selalu berada di samping
Kusno, menjelaskan apa yang dikatakannya pada mereka dengan bahasa
Sunda.
Suatu
hari, suamiku itu pulang dengan wajah yang gembira. Dengan tak sabar ia
bercerita padaku tentang pertemuannya dengan seorang petani bernama
Marhaen. Petani kecil tapi hidupnya tak bergantung pada orang lain. Ia
hampir berteriak mengatakan inilah yang dicarinya tentang sosialisme
Indonesia yang sebenarnya. Aku mendengar semua ceritanya, ikut larut
dalam semangatnya (Lampu Redup)
Inggit di beranda rumah. Menatap kejauhan. Hari cerah.
Akhirnya
Kusno bisa lulus dari THS, jadi insinyur. Kukatakan akhirnya, karena
selama ini ia sekolah dengan pikiran bercabang, berjuang untuk tanah
airnya. Ah, Tentu saja aku ikut senang dan bangga. Aku telah
menyertainya dan semua yang kuperbuat agar ia ingat pada sekolahnya
tidaklah sia-sia.
Setelah
Kusno menjadi insinyur semestinya keadaan kami berubah. Tapi aku tahu
kemana akhirnya pilihan suamiku itu. Bersama temannya Anwari, ia pernah
membuka biro teknik. Menyewa kantor di alun-alun. Tapi tak ada pernah
ia sekali pun membicarakan persoalan pekerjaannya. Selalu urusan
politik. Pikiran dan dunianya tak bisa lepas dari perjuangan memikirkan
nasib bangsanya.
Apalagi
ketika itu keadaan politik sedang gawat. Serekat Islam yang dipimpin
Pak Tjokro pecah menjadi dua. Orang-orang komunis mengadakan
pemberontakan di Banten, Ciamis, da Sumatera Barat. Pemberontakan itu
gagal dan membuat keadaan jadi genting. Banyak terjadi penangkapan yang
merembet ke mana-mana. Pemerintah semakin menekan orang-orang
pergerakkan.
Kau
mungkin akan berpikir, dalam situasi gawat itu semestinya Kusno lebih
memperhatikan pekerjaannya di kantor biro teknik ketimbang mengurusi
politik yang bisa-bisa membuatnya ditangkap. Tapi, kau tahu, suamiku
itu malah meninggalkan pekerjaannya dan mencurahkan semua perhatiannya
pada politik. Apalagi sekarang ia tak perlu memikirkan pelajaran
sekolahnya seperti dulu. Tak ada lagi hal yang harus dipikirkan suamiku
sekarang politik, demi cita-citanya memimpin rakyat menuju kebebasan.
Dan
itu artinya aku belum berhenti bekerja menghidupi kebutuhan kami. Tapi
tak apa. Aku senang melakukannya. Aku akan selalu berada di samping
suamiku. Menjaga, merawat, dan melayani tubuh dan semangatnya.
Dalam
situasi itulah suamiku tak ubahnya laut yang tak pernah diam. Ia terus
bergelora. Ia ingin mendidik semangat semua orang. Aku menyertainya ke
mana pun. Kota Bandung di kelilinginya, juga Ujungberung,
Lembang,
Cimahi, Padalarang, Yogja, Garut, Semarang, Surabaya, Jakarta, dan
banyak tempat di berbagai daerah yang kami datangi. Ia berpidato dan
terus berpidato.
Rumah
kami juga telah berubah menjadi rumah bersama bagi para aktivis
pergerakan. Berkumpul dan berdebat. Dalam perdebatan itulah Kusno
seringkali menjadi begitu radikal. Keinginannya adalah Indonesia merdeka
sekarang juga! Tak sedikit mereka yang tidak setuju karena menganggap
rakyat belum siap, dan itu membuat suasana jadi tegang. Kalau suasana
seperti itu aku sering cemas timbul perpecahan di antara mereka.
Ayo diminum teh dan kopinya, ini kuenya, siapa mau tambah lagi minumnya, mumpung airnya masih panas?
Di
rumah kami, mereka juga membicarakan berbagai kejadian. Kongres anti
kolonialisme di Brussel yang dihadiri oleh perwakilan Indonesia,
penangkapan Mohammad Hatta dan para mahasiswa Indonesia di Belanda, atau
peristiwa Sumpah Pemuda. Semua itu membuat Kusno semakin yakin bahwa
persatuan Indonesia itu bisa dibangun.
Bersama
Kusno, aku hanyalah seorang perempuan yang tak mengambil peran apapun.
Tapi aku larut ke dalamnya, ke dalam bagian paling penting dari sejarah
negeri ini. Aku mengenal dan menggagumi semangat mereka. Syahrir, anak
muda yang pintar dan sering datang ke rumah kami, Dr. Tjipto yang bijak
dan pandai, Sartono, Anwari, dan banyak lagi dalam rapat-rapat umum.
Tentu
saja, selalu suamiku Kusno yang menjadi perhatian. Suaranya seperti
samudra yang mengamuk, membangunkan semangat persatuan dan kemerdekaan
Indonesia sekarang juga. Ia begitu menyihir semua orang.
Suara Pidato Soekarno
Sebelumnya
orang-orang di Hindia Belanda ditangkap tanpa diketahui sebabnya dan
tanpa dibawa ke pengadilan. Dan teman-teman di Negeri Belanda protes,
protes sekeras-kerasnya. Sekarang teman-teman kita di Negeri Belanda
ditangkap dan dipenjara di Den Haag, juga tanpa tahu apa pasalnya mereka
ditangkap. Dan kita di sini protes, protes sekeras-kerasnya pada
pemerintah Belanda. Apa artinya ini? Ini menunjukkan adanya persamaan
tujuan di antara kita. Tujuan kita sama, yakni, Indonesia merdeka.
Merdeka sekarang juga!! (Pause)
Inggit muncul. Tangannya menggenggam uang, dihitungnya dengan hati-hati.
Aku
masih harus memikirkan semua kebutuhan kami. Dan jika berada dalam
kesulitan seperti sekarang aku tak pernah menceritakan pada Kusno.
Cukuplah dia memikirkan perjuangannya. Aku masih bisa mencari akal untuk
hal-hal ini. Meski memang keadaan semakin sulit. Tadi aku ke toko
tempat biasa aku menyimpan jamu dan bedak, tapi katanya tak terjual.
Beruntunglah aku mendapat pinjaman. Dan Kusno tak perlu tahu hal ini.
Kerisauanku
pada kebutuhan hidup selalu terobati oleh semangat perjuangan Kusno.
Aku begitu bahagia melihat sorot matanya yang berkilat-kilat ketika
berpidato. Tanda betapa ia meyakini kebenaran dari apa yang dipikirkan
dan dikatakannya.
Dalam
sebuah pertemuan di rumah Dr. Tjipto, Kusno menyatakan keinginannya
untuk mendirikan sebuah perkumpulan, sebuah partai yang radikal. Terjadi
perdebatan. Dr. Tjipto tak setuju dengan pendirian partai itu mengingat
situasi yang sedang genting. Tapi bukanlah suamiku jika ia surut dari
apa yang diinginkannya. Bersama Sartono, Sunario, Anwari, suamiku tetap
dengan keinginannya. Maka berdirilah sebuah perkumpulan, sebuah partai
“Perserikan Nasional Indonesia”, PNI. Suamiku menjadi ketuanya.
Kecemasan
Dr. Tjipto terbukti. Pemerintah semakin beringas menangkapi siapapun
yang dicurigai terlibat dalam pemberotakan golongan komunis. Dan kali
ini yang menjadi korban penangkapan adalah Dr. Tjipto sendiri. Ia
dituduh terlibat dalam pemberontakan itu. Ia dibuang ke Pulau Banda.
Tempat praktiknya di Tegallega ditutup.
Seharusnya
peristiwa penangkapan Dr. Tjipto itu membuat suamiku berpikir ulang
tentang partai yang baru saja didirikannya. Tapi, tidak! Seperti singa
yang terluka dan mengamuk, semangat Kusno semakin menjadi-jadi.
Peristiwa itu makin membuatnya yakin, bahwa sebuah gerakan radikal mesti
segera dilakukan. Untuk itu kekuatan harus dihimpun. Rakyat harus
disatukan dalam semangat yang satu.
Maka
bergeraklah kami ke berbagai kota, mendirikan cabang-cabang partai.
Yogjakarta, Solo, Semarang, Surabaya, Gresik, Pekalongan, Cirebon,
Sumedang, Jakarta, dan kembali ke Bandung. Di tempat-tempat itu Kusno
berbicara dan berpidato berapi-api.
Banyak
malam suaranya menjadi parau dan tubuhnya ringsek. Dalam kelelahannya
itulah aku selalu menemaninya. Membuatkannya air asam, memijatinya,
memberinya semangat, dan menidurkan kesayanganku itu. Singa panggung
yang begitu manja dalam pelukanku. (Pause)
Panggung redup. Inggit duduk di kursi. Wajahnya tegang.
Polisi-polisi
itu datang tiba-tiba, subuh, menggedor-gedor pintu. Begitu dibuka,
seorang komisaris Belanda langsung menodongkan pistol. Polisi-polisi itu
menyerbu masuk. Suara sepatu mereka yang keras menggema ke seluruh
bangunan. Aku dan Kusno terbangun. Ia dengan tenang memakai piyamanya.
Keluar dan menghadapi komisaris polisi Belanda itu.
Atas nama Sri Baginda Ratu, saya menahan Tuan!, katanya. Lalu mereka membawa suamiku.
Peristiwa
itu terjadi di Yogjakarta, ketika kami baru saja menghadiri rapat umum
pergerakan di Solo dan pertemuan PNI cabang Mataram. Bersama Kusno,
ditangkap juga Maskun dan Gatot Mangkudipraja. Sejak lama, aku tahu
peristiwa penangkapan ini akan terjadi. Aku sudah siap, bahkan sejak
hari pertama aku menjadi istri Kusno. Karena itu aku berusaha siap
menghadapi kesulitan yang bakal terjadi.
Tapi
nyatanya aku tetap tidak tenang karena belum juga mendapat kabar
tentang nasib Kusno. Sejak ia dibawa polisi beberapa hari tak ada
kabarnya. Seorang pembantu kami yang ikut ditangkap akhirnya dilepas.
Dia membawa pesan dari Kusno, agar aku pulang lebih dulu ke Bandung.
Dari dia aku juga tahu, bahwa Kusno, Gatot, dan Maskun akan dibawa juga
ke Bandung. Akhirnya aku pulang ke Bandung seorang diri, berdoa
sepanjang jalan untuk keselamatan suamiku.
ENAM
: Panggung terang. Inggit berkebaya, membawa rantang, lelah, dan
suara-suara yang mengingatkan pada penjara, langkah kaki dan derit pintu
besi.
Setelah
beberapa hari tak ada juga kunjung kabarnya, setelah rumah kami
digeledah polisi, akhirnya datanglah kabar tentang nasib suamiku. Dia
sudah dibawa ke Bandung dan dijebloskan ke penjara Banceuy. Setiap hari
aku ke Banceuy, membawa masakan kesukaan suamiku, berdiri di gerbang
penjara, berharap bisa menjenguknya. Tapi para penjaga penjara itu
dengan ketus bilang bahwa suamiku belum bisa dijenguk.
Penangkapan
Kusno muncul di suratkabar dan membuat geger. Di Volksraad, Husni
Thamrin dan orang-orang pergerakkan memprotes penangkapan Kusno yang
melanggar hak orang berserikat. Husni Thamrin dan teman-temannya bahkan
mengajukan mosi, mereka protes pada perlakuan pemerintah. Dari Negeri
Belanda, Perhimpunan Indonesia juga mengirim telegram. Mereka telah
mengirim telegram ke parlemen dan mencela sikap pemerintah
Hindia-Belanda.
Tapi,
kau tahu, kekuasaan memang tak pernah punya telinga. Jangankan
mendengar protes mereka, keadaan bahkan bertambah genting. Di Bandung
penggeledahan terjadi di mana-mana. Siapa pun bisa dicurigai dan
dijebloskan ke penjara. Orang-orang jadi takut, dan pelan-pelan mulai
memandangku seperti kuman penyakit menular.
Jika
mencintai itu hanya bisa dilakukan dengan keras kepala, maka begitu
juga perjuangan demi tanah air. Setiap hari aku berjalan ke Banceuy,
membawa rantang makanan, berharap sudah bertemu dengan suamiku meski.
Dan selama tiga minggu, aku hanya menemukan jawaban yang sama dari
penjaga. Suamiku belum bisa dijenguk.
Dalam
keadaan seperti itu, ekonomi semakin sulit. Sambil berpuasa aku terus
berusaha menutupi kebutuhan, dan itu tidak cukup lagi hanya dengan
menjahit pakaian dan kutang. Aku jadi agen sabun, membuat rokok, jadi
agen cangkul dan alat-alat pertanian.
Empatpuluh
hari kemudian, datanglah kabar yang sangat kutunggu, Kusno sudah bisa
dijenguk. Kami bertemu di antara kawat yang memisahkan kami. Aku ingin
merangkulnya, ia pun tampak berusaha menaham emosi. Dalam semua
perjalanan selama ini aku selalu ada di samping suamiku. Dan kini kami
dipisahkan. Bahkan tidak untuk sebuah rangkulan pun.
Suamiku
dimasukkan ke dalam sel yang lebarnya hanya satu setengah meter,
separuhnya sudah terpakai untuk tempat tidur. Panjang sel itu sama
panjangnya dengan peti mati. Tempat itu gelap, lembab dan melemaskan.
Meski
aku tahu dan telah menyiapkan hati jika semua ini bakal menimpaku, tapi
ketika pertamakali pintu yang berat itu tertutup rapat di hadapanku,
aku rasanya hendak mati.
Begitu
suamiku bilang. Tak bisa kubayangkan bagaimana ia menjalani hidupnya di
tempat semacam itu. Aku tahu benar, dia lelaki yang suka dengan
kerapihan dan sangat pemilih. Menyukai pakaian yang bagus dan harus
selalu tampak rapih. Ia tidak suka segala yang tampak kotor.
Seseorang
pada akhirnya harus menemukan batas dari kekuatan dirinya. Dan aku rasa
ini yang kulihat pada Kusno. Penjara yang kecil itu telah menekan
jiwanya. Dan aku tidak akan membiarkan singa podium itu menyerah. Aku
tidak mau suamiku menjadi menjadi lemah. Suatu hari dengan mata redup ia
meminta maaf padaku karena telah lalai sebagai seorang suami.
Tidak,
kasep. Jangan berpikir begitu. Jangan berkecil hati. Di rumah semuanya
beres. Aku masih bisa bekerja untuk mencari uang. Beres, kasep, beres.
Ia masih memandangku dengan mata sorot mata yang lemah. Aku memandang ke arah matanya. Dan aku bilang dengan suara tegas,
Tegakkan
dirimu, Bung karno! Tegakkan! Ingat semua cita-citamu untuk memimpin
rakyat! Jangan luntur hanya karena cobaan dan penjara! Aku istrimu akan
berada di sampingmu dan akan selalu di sampingmu!
Pelan-pelan ia mengangkat wajahnya. Matanya yang redup mulai berkilat-kilat. (Lampu Redup)
Panggung
gelap, lalu cahaya masuk, redup. Inggit berdiri, diperutnya terikat
buku, kue-kue nagasari yang isinya terbuka dan setengah terbuka.
Bersama tiga orang lainnya, suamiku akan diadili di Landraad. Oleh penguasa dituduh membuat perkumpulan yang berniat jahat.
Tapi suamiku ingin mengubah pengadilan itu menjadi sebuah gugatan pada
pemerintah. Ia ingin menyusun gugatan itu. Maka di pengadilan nanti
bukanlah suamiku yang digugat oleh penguasa. Tapi dialah yang akan
menggugat kolonialisme dan imprealisme.
Ia
memintaku mengirimkan semua bahan bacaan diperlukannya untuk menyusun
gugatan itu. Tentu saja tidak mudah menyelundupkannya. Tapi tak ada yang
bisa menghalangiku untuk mendampingi Kusno. Melakukan apa yang
diperlukannya.
Buku-buku
tebal itu aku ikat ke tubuhku, kusembunyikan di balik stagen. Aku
berpuasa dua sampai tiga hari agar perutku menjadi kecil, agar buku itu
tidak terlalu tampak. Mulanya aku begitu takut. Apa jadinya kalau
penjaga mengetahuinya! Tapi ini harus kulakukan. Kusno memerlukan
buku-buku ini. Beruntunglah para penjaga penjara itu tak menaruh curiga.
Begitulah, sampai semua buku yang diperlukan Kusno untuk menulis
pembelaannya itu bisa kuselundupkan ke dalam penjara. Setiap kali pulang
dari Banceuy, tubuhku benar-benar lemas...
Akhirnya
aku lolos. Dalam pengawasan seorang penjaga yang mengawasi pertemuan
kami, aku dengan keringat dingin bisa menyelundupkan buku dan semua
bahan yang diperlukan itu pada Kusno. Dengan sebuah isyarat, Kusno juga
mengerti bahwa di dalam kue nagasari itu aku telah memasukkan uang
logam. (Pause)
Inggit duduk di bangku panjang ruang pengadilan. Suara ramai para pengunjung
Setelah
delapan bulan ditahan di penjara Banceuy, barulah suamiku diadili.
Selama beberapa hari dalam pengadilan itu hakim mencecar suamiku dengan
berbagai pertanyaan yang menjebak. Mereka ingin agar tuduhan bahwa
suamiku dan partainya terbukti hendak melakukan pemberontakkan.
Tapi
Suamiku tetap tenang, ia pandai mengelak dari jebakan-jebakan itu, dan
tetap mengatakan bahwa apa yang ia perjuangan bersama partainya adalah
melawan kolonialisme dan imprealisme demi mencapai kemerdekaan.
Dan
di hari ia membacakan pembelaannya, aku begitu bangga. Aku begitu
terharu mendengar suara dan semangatnya, membacakan pembelaannya. Dan
apa yang telah kulakukan tidaklah sia-sia. (Lampu redup
bersamaan dengan suara Soekarno membacakan teks Indonesia Menggugat)
Panggung terang. Inggit duduk menjahit.
Mereka
menganggap suamiku bersalah karena ia mengatakan “Tidak” pada
kolonialisme. Keputusan pengadilan itu lagi-lagi mendapat kecaman dari
mana-mana. Tapi kekuasaan memang tak pernah punya telinga. Keputusan Raad van Justice di Jakarta bahkan memperkuat vonis Landraad.
Untuk kata “Tidak” yang diteriakkan oleh suamiku itu, kolonialisme
menjatuhkan hukuman padanya selama empat tahun. Dia dipindahkan ke
Sukamiskin. Penjara yang letaknya 10 kilometer dari Bandung.
Satu-satunya
yang membuatku lega sekarang suamiku tidak lagi berada di sel penjara
yang menyiksanya itu. Penjara Sukamiskin lebih luas dan lebih baik
ketimbang penjara Banceuy. Tapi bagi suamiku penjara Sukamiskin itu tak
lebih dari sebuah rumah kurungan. Dia bilang, Aku lebih suka dibuang tiga tahun ketimbang dikurung di tempat ini
Tapi
bagi seorang pejuang penjara adalah rumah pertapaan. Itulah yang
pelan-pelan dirasakan oleh suamiku. Sebelumnya, sebagai pemuja
kebebasan, dia begitu tertekan. Dia dikurung bukan hanya sebagawai
tawanan, tapi juga sebagai orang suruhan. Dia harus menerima perintah
dan setiap hari melakukan pekerjaan yang membosankan.
Coba
kau bayangkan, seorang singa podium seperti Bung Karno dengan gemuruh
suaranya mengajak semua orang melawan dan mengatakan “Tidak” pada
kolonialisme demi kemerdekaan, kini setiap hari disuruh mengangkat
kertas dan memotongnya, lalu di atas kertas itu ia harus membuat
garis-garis sehingga menjadi buku tulis. Pekerjaan yang membosankan dan
mengerikan bagi orang seperti suamiku. Semangat hidupnya nyaris ambruk.
Tak
hanya itu. Dia bercerita bagaimana seorang pemuda dalam penjara itu
suatu hari ditemukan mati gantung diri. Pemuda itu dipaksa dan diperkosa
oleh tiga orang sesama lelaki. Ya, Allah, aku benar-benar ngeri
membayangkannya. Aku tahu, suamiku yang masih muda dengan semua
gairahnya kini terkurung seperti hewan. Dan kini aku tak bisa
melayaninya.
Tapi
aku bersyukur, pelan-pelan suamiku bisa meredakan ketegangannya,
mengalihkan perhatiannya pada agama. Ia pun rajin berolah-raga. Aku pun
boleh membawakan untuknya buku, tapi tak boleh buku politik. Aku
membawakannya buku-buku agama dan itu sangat membantu.
Mereka
yang setuju dengan pembubaran membentuk parti baru, namanya Partindo.
Sedang mereka yang tak setuju lalu membentuk PNI Baru, Pendidikan
Nasional Indonesia.
Kabar
ini tentu sangat menguncang suamiku dan membuatnya begitu sedih. Bisa
kumaklumi, sebab ia senantiasa memimpikan persatuan dalam perjuangan.
Aku coba menenangkannya. Memintanya untuk tidak berputus asa.
Dua
kali seminggu aku mengunjungi suamiku. Aku diijinkan membawa buku untuk
Kusno, tapi tidak boleh buku politik. Bahkan pembicaraan kami berdua
pun selalu diawasi oleh seorang penjaga. Kami dilarang membicarakan
hal-hal politik.
Tapi
aku tak pernah kehilangan akal untuk memberitakan perkembangan yang
terjadi di luar pada Kusno. Diam-diam aku membuat sebuah kode atau sandi
melalui buku-buku agama yang kirim untuknya. Sandi itu kubuat dengan
cara melubangi huruf dengan jarum sehingga jika ia merabanya bisa
menjadi sebuah rangkaian kalimat.
Meski
dalam penjara Kusno pun memerlukan kebutuhan yang membuatku harus
mencari akal mendapatkannya. Termasuk uang yang diperlukannya. Pernah
suatu kali ia meminta uang sebanyak enam gulden. Uang itu untuk menyogok
para penjaga agar mereka bersikap baik dan memberi keleluasaan pada
suamiku. Seperti biasa, ku mengusahakan uang itu, mengirimnya dengan
cara memasukkan uang itu ke dalam kue, sehingga tidak diketahui penjaga.
Sungguh,
aku tak pernah memberi tahu pada suamiku tentang satu hal, yaitu, aku
sering ke Sukamiskin hanya dengan berjalan kaki. Padahal jarak dari
rumahku di Astana Anyar menuju Sukamiskin haruslah ditempuh dengan
kendaraan. 10 kilometer jauhnya. Tapi keadaan kami sedang susah dan
kebutuhan suamiku haruslah didahulukan.
Pernah
suatu kali, hari sedang hujan dan aku pulang berjalan dari Sukamiskin.
Sesekali aku berteduh di emperan toko. Tidak, aku tak ingin suamiku
mengetahuinya. Ia sudah cukup berat memikirkan dirinya dan
perjuangannya. Aku ingin suamiku tenang dan tetap menjaga semangatnya. (Lampu Redup)
TUJUH:
Inggit merapihkan pakaian, menyiapkan dirinya, wajahnya segar. Di luar
terdengar suara orang menyiapkan sebuah penyambutan.
Setelah
masa hukumannya dipotong dua tahun, akhirnya 29 Desember 1931 suamiku
dibebaskan. Meski aku tidak tahu entah apa lagi yang akan kami hadapi
dalam perjuangan ini, tapi kebebasan Kusno bagaimanapun membuat aku
lega. Begitu juga semua orang yang mendengarnya.
Husni
Thamrin. Mr Sartono, Muh. Yamin, Amir Syarifudin, Ali Sastroamidjojo
dan teman-teman seperjuangannya, bahkan berbagai organisasi perjuangan
sampai tukang bendi, menyambut kepulangannya. Mereka menjemput Kusno ke
Sukamiskin. Dan ketika Kepala Sipir Penjara bertanya apakah benar
dengan kebebasannya itu suamiku akan memulai kehidupan yang baru,
suamiku menjawab,
Seorang
pemimpin tidak berubah karena hukuman. Saya masuk penjara untuk
memperjuangkan kemerdekaan dan saya meninggalkan penjara dengan pikiran
yang sama
Kau tahu, bangga sekali aku mendengar jawaban suamiku itu.
Lepas
dari penjara Sukamiskin kami memulai kembali perjuangan. Suasana
politik sudah berubah. Banyak organisasi perjuangan seperti kehilangan
darah. Kini Kusno pun dihadapkan pada masalah perpecahan PNI. Partindo
dan PNI Baru terus saja bersengketa di suratkabar dan majalah mereka.
Sebuah masalah yang menyedihkan suamiku. Orang-orang Partindo
ingin agar Kusno bergabung dengan mereka. Tapi Kusno menolak. Ia ingin
menyatukan dan mendamaikan Partindo dan PNI Baru.
Suatu
hari suamiku pulang dengan wajah yang sedih dan kecewa. Katanya, ia
baru saja datang ke rapat PNI Baru. Ia ingin menghadirinya. Tapi tak
disangka-sangka, di pintu masuk ia dihadang dan tak diijinkan masuk.
Kau
bayangkan, bagaimana kecewanya suamiku. Aku sendiri merasa sakit
mendengar ceritanya. Setelah semua yang dilakukannya demi perjuangan,
aku merasa sakit jika ada siapa pun menyakiti Kusno-ku. Tapi
kekecewaanku itu tidak kuperlihatkan pada Kusno. Aku berusaha
menenangkannya.
Dengan
penuh sayang, aku besarkan hatinya. Kubilang, mungkin penjaga pintu
hanya ingin menegakkan disiplin, bahwa hanya orang yang diundang saja
boleh masuk. Ia hanya diam, berbaring tenang di dadaku. Aku tahu
bagaimana menenangkan dan mengalihkan perhatian suamiku. (Lampu Redup)
Suara orang-orang dalam sebuah rapat politik, suara pidato sayup-sayup. Inggit duduk di sebelah kursi kosong
Seperti
dulu, aku kembali mendampingi Kusno dalam kesibukkan politiknya.
Suasana sekarang sudah berbeda. Pertentangan di antara partai dan
organisasi perjuangan semakin tajam. Inilah yang merusuhkan pikiran
suamiku, sekaligus membuatnya sedih.
Hanya
dua hari setelah ia keluar dari Sukamiskin, aku dan Kusno melakukan
perjalanan ke Surabaya menghadiri Kongres Indonesia Raya. Di setiap
stasiun yang kami singgahi orang banyak menyambut kehadirannya,
memanggil-manggil namanya. Panggilan yang tak hanya karena keterkenalan
nama suamiku, Bung Karno, tapi juga menyiratkan harapan mereka pada
perjuangan suamiku.
Dalam
kongres itu untuk pertama kalinya sejak ia di penjara, Kusno kembali
tampil berpidato. Ia seolah meluapkan kehausannya untuk berbicara di
depan orang banyak. Dan tampaknya orang-orang pun sudah rindu mendengar
pidato singa podium itu. Kusno tak berubah, seperti dulu, suaranya
menggelegar berisi seruan dan semangat perjuangan untuk bersatu,
bersama-sama mengatakan “Tidak” pada penjajahan.
Di
tengah pertentangan partai dan organisasi perjuangan akhirnya Kusno
bercerita padaku bahwa Sutan Syahrir sudah kembali dari Negeri Belanda.
Bersama Hatta ia bergabung dengan PNI Baru. Kusno pun akhirnya masuk
bergabung dan memimpin Partindo. Aku tak bertanya alasan mengapa ia
memutuskan bergabung. Tapi kupikir itu tak lepas dari kedekatannya
dengan Sartono. Orang yang memang sangat kurasakan kedekatan dan
kesetiaannya pada kami.
Seperti
dulu semasa ia memimpin PNI, kembali aku mendampingi Kusno melakukan
perjalanan ke berbagai kota. Dan tak ada yang dikerjakannya selain
berpidato dan pidato. Di atas mimbar, ia seolah mengaum, mengatakan
pendiriannya bahwa tak ada kerjasama apapun dengan para penjajah.
Kota-kota
di Jawa Timur dan Jawa Tengah kami jelajahi. Lalu sampailah suatu hari
ketika Kusno berangkat ke Jakarta seorang diri untuk menghadiri rapat
partai. Suamiku itu tak pulang lagi ke Bandung. Tapi datanglah kabar, ia
ditangkap. (Lampu Redup)
Suara rantai besi. Orang berjalan di lorong. Suara pintu besi. Inggit duduk di kursi terdakwa.
Sekarang
suamiku mereka tangkap hanya karena para penguasa itu takut pada sebuah
tulisan. Tulisan suamiku “Mencapai Indonesia Merdeka”. Tulisan itu
dianggap menghasut. Ia kembali dijebloskan ke penjara Sukamiskin.
Penangkapan
Kusno kembali membuat geger. Tapi di tengah pertentangan organisasi
perjuangan, peristiwa penangkapan itu memercikkan banyak masalah yang
memukul bathin kami. Mereka yang garis perjuangannya berbeda, menyebut
penangkapan Kusno merupakan tanda bahwa suamiku itu bakal lenyap dari
kalangan pergerakan rakyat.
Suamiku terpukul sekali mendengarnya. Tak hanya itu. Malah sekarang
muncul tuduhan yang menampar wajahku. Dan itu ditulis di suratkabar kaum
pergerakan.
(Suara orang membacakan koran):
Setelah ia dua setengah tahun berusaha mengorbankan semangat
kebangsaan, ia menjadi korban pergerakan dan bernaung dua tahun lamanya
dalam penjara. Sekarang ia sudah satu setengah lagi dalam perjuangan.
Dan tangan penguasa menyingkrkannya lagi dari pergerakan yang dibelanya
barangkali untuk selamanya.
Tidak
sedikit yang menyangka, bahwa perkataan Soekarno bakal lenyap dari
kalangan pergerakan rakyat, akan menjadi satu lakon yang sedih, yang
melukai hati seluruh pergerakan radikal. Sekali ini, Soekarno menjadi
korban bukan karena pergerakan atau kekejaman pemerintah. Melainkan
korban daripada dirinya sendiri, karena luntur iman dan ternyata pula
tidak mempunyai karakter.
Sebagai
pohon nyiur disambar geledek, demikian berita yang tersiar dalam surat
kabar bahwa Ir. Soekarno mengambil keputusan sesukanya untuk
mengundurkan diri dari segala pergerakan. Yang lebih menggemparkan lagi
ialah alasan yang dikemukakannya, karena ia sudah tidak cocok lagi
dengan asas Partindo. Ada lagi kesedihan yang lebih daripada itu. Satu
tragedi Soekarno yang belum ada contohnya dalam riwayat dunia. Orang
kata karena istrinya.
Di
sini tidak istrinya yang bersalah. Melainkan pemimpin Soekarno yang
tidak beriman. Orang yang mempunyai karakter tidak akan terpengaruh oleh
air mata istri yang tidak tahan hidup melarat. (Inggit terdiam. Kaku. Lalu menjerit panjang. Jatuh. Lampu redup)
Inggit masih tergolek. Panggung agak suram. Suara orang terus membaca koran, berulang-ulang. Sayup.
Orang
itu seperti menginjak-injak seluruh diriku. Tahu apa dia tentang aku,
sampai ia bisa mengatakan bahwa aku tidak tahan hidup melarat?
Jangankan meminta atau menuntut pada suamiku, bahkan mengeluh saja aku
tidak pernah. Apakah harus kukatakan pada semua orang bahwa sejak ia
masih sekolah akulah yang menanggung semua kebutuhan hidup kami? Apakah
harus kukatakan agar semua orang tahu bahwa selama Kusno di penjara
akulah yang memenuhi semua kebutuhannya?
Kini
suamiku kembali dipenjara demi membayar apa yang dicita-citakan semua
orang, yaitu, kemerdekaan. Tapi mengapa dia lantas dihujani oleh
berbagai prasangka? Setelah penjajah menjebloskannya ke dalam penjara,
kini mereka menjebloskannya ke dalam prasangka! Menyebutnya sebagai
orang yang tak berwatak, menyebutnya sebagai pemimpin yang tak beriman!
Lalu menyebut aku istrinya sebagai biang keladi!
Mereka
hanya takut kehilangan pengaruh. Dengan suamiku kembali masuk penjara,
mereka takut dengan keternaran suamiku di kalangan rakyat. Karena itu
mereka bilang penangkapan suamiku bukanlah karena korban kekejaman
pemerintah Hindia-Belanda, tapi karena kelemahan imannya. Jangankan
mereka bersatu mengatakan “Tidak” pada kolonialisme, mereka malah
membuat desas-desus.
Semuanya
tak berhenti di situ. Suatu hari seorang utusan pemerintah Hindia
Belanda datang ke rumah menemuiku. Utusan itu datang dengan satu tujuan,
agar aku meminta ampun pada pemerintah untuk dan atas nama suamiku. Aku
bilang dengan wajah tegak dan memandang ke arah wajah utusan itu,
Tuan
tidak perlu bersusah payah meminta pada saya atau pada suami saya untuk
meminta ampun pada pemerintah Hindia-Belanda. Dengar Tuan Utusan, orang
yang meminta ampun adalah orang yang bersalah. Saya ingin bertanya pada
Tuan, apakah menurut Tuan orang yang memperjuangkan kemerdekaan tanah
airnya adalah orang yang bersalah? Tuan tak perlu mengatakan jawabannya
pada saya, sebab Tuan bisa menjawabnya sendiri dengan mudah dalam hati
Tuan. Saya sudah digembleng oleh suami saya untuk menerima semua risiko
dari apa yang kami perjuangkan ini.
Utusan
itu pergi. Tapi tiba-tiba terdengar desas-desus lagi, bahwa suamiku
telah meminta ampun pada pemerintah. Aku dibuat risau oleh kabar itu.
Apakah benar suamiku telah berbuat sehina itu? Mengapa itu dilakukannya?
Aku
tidak percaya, dan aku telah menemukan jawabannya dari sikap Kusno.
Mustahil suamiku melakukan pekerjaan yang memalukan itu. Aku mau suamiku
tetap menjadi lelaki yang tangguh, karena untuk itulah aku
mendampinginya. (Lampu redup)
DELAPAN: Inggit mengemasi barang-barang. Suara kesibukan orang bekerja pindah rumah. Lampu pelan menjadi terang. Suara laut.
Di
mata para penguasa, seseorang yang ngotot bilang “Tidak” pada kekuasaan
seperti suamiku, tak ubahnya dengan kuman yang bisa menular. Bukan
hanya pikiran dan kata-katanya yang dianggap berbahaya. Bahkan
kehadirannya pun bisa membuat orang banyak terpengaruh. Karena itu dia
harus dibuang jauh-jauh, diasingkan, dipisahkan dari masyarakatnya.
Di
depan Volksraad pemerintah Hindia Belanda memutuskan pembuangan suamiku
ke Ende di Flores. Ia harus diasingkan karena dianggap sudah terlalu
berbahaya. Dan ketika kami bertemu setelah mendengar keputusan itu,
Kusno bertanya padaku,
Kumaha Inggit, Enung bade ngiring?
Tak perlu aku berpikir untuk menjawab pertanyaan suamiku itu. Aku bilang,
Muhun, Kasep. Kemana pun mereka membuangmu, aku akan ikut mendampingimu, Kasep...
Meski
aku bukan student dan orang pandai, tapi aku faham benar artinya
kesetiaan seorang istri bagi seorang suami seperti Kusno. Aku sudah
teken kontrak, hidup dan mati mendampingi suamiku, susah dan senang.
Tak
hanya aku dan anak angkat kami, bahkan ibuku pun ikut. Aku menjual
semua perhiasan dan rumah sebagai bekal hidup kami di pembuangan. Kami
tak tahu kapan kami akan kembali ke Bandung. Bisa saja kami akan
selamanya di sana. Lebih dari itu, aku ingin memberi ketenangan pada
hati suamiku, betapa sampai kapan dan di manapun ia tak akan pernah
sendirian.
Pagi
hari kami diberangkatkan dari Bandung ke Surabaya dengan kereta api.
Aku, Omi anak angkat kami, ibuku Amsi, dan dua orang pembantu kami yang
setia, Muhasan dan Karmini. Kusno berada di gerbong yang lain. Kereta
bergerak ke arah timur. Cahaya pagi kemerahan. Aku memandang keluar.
Sungai Cikapundung tempatku kecil dulu bermain, juga Gedung Landraad.
Kereta terus bergerak. Bandung tertinggal di belakang. Mataku basah. Pileuleuyan Bandung...
Setelah
menginap semalam di Surabaya, kami dibawa ke pelabuhan Tanjung Perak.
Tak disangka orang penuh sesak , berjejal di pinggil jalan, mereka
meneriakkan nama suamiku, “Hidup Bung Karno! Hidup Bung Karno!”
Aku
merinding dan terharu melihat begitu besar harapan yang mereka titipkan
pada suamiku. Dan aku semakin tahu kewajibanku. Delapan hari kami
terapung-apung di laut... (Lampu redup)
Suara laut dan lengking kapal. Inggit duduk memilih sayuran. Panggung terang
Tak
ada lagi rapat-rapat umum partai, pertengkaran organisasi perjuangan,
atau pertemuan malam hari yang penuh perdebatan. Tak ada lagi mimbar
pidato yang sangat disukai oleh suamiku, dan orang-orang yang riuh
bertepuk tangan menyambut kata-kata singa podium itu.
Politik
sudah tak ada lagi kecuali kesibukan kami berkebun. Sesekali pergi ke
laut, berjalan-jalan ke bukit, lalu malam hari mendengar suara lengking
kapal.
Hari,
pekan, dan bulan kami lewati di pembuangan dengan perasaan yang ringan.
Mencoba untuk menerimanya tanpa pernah merasa rindu dengan Bandung.
Kami berkenalan dengan masyarakat Endeh. Mereka tahu kami dari Jawa,
orang politik, orang buangan.
Tapi
di Ende inilah aku harus kehilangan ibuku. Setelah sakit dan lima hari
tak sadarkan diri, ibuku meninggal. Kusno ikut mengusung jenasahnya ke
pemakaman di pekuburun kampung yang sederhana. Bahkan suamiku mengantar
jenasah mertuanya itu hingga ke liang lahat.
Kusno
tentu pelan-pelan merasa bosan. Tapi beruntunglah ia menemukan
kesibukan dengan memperdalam ilmu agama. Ia bersurat-surat dengan
A.Hassan di Bandung. Berdiskusi perihal agama. Ia terus membaca
buku-buku agama, terutama sejarah dan Tauhid. Tak jarang A.
Hassan mengirimkan buku-buku agama untuk suamiku. Hanya dalam semalam
suamiku sudah melahap habis buku itu. Lalu ia segera akan membuat
catatan, mengirim surat pada A.Hassan dan mendiskusikannya.
Suatu
hari suamiku menerima surat dari Bandung, dari teman pergerakkan. Dari
surat itu kami tahu bahwa Hatta dan Syahrir dibuang ke Digul, lalu
dipindahkan ke Banda Neira. Dalam pembuangan itu Hatta mengisi waktunya
dengan mempelajari filsafat Yunani. Sedang Syahrir asyik menekuni
perbandingan kebudayaan Timur dan Barat.
Lewat
surat menyurat dengan teman-temannya di Jawa, Kusno masih mengikuti
perkembangan politik. Dan itu sering membuatnya begitu geram. Kalau
sudah begitu aku harus cepat menghampirinya, bersabar menemaninya.
Membiarkannya terus berbicara, meluapkan kekesalannya.
Setelah
itu biasanya ia lelah, karena terus berbicara. Aku lantas mengajaknya
keluar dari kesepian. Aku harus pandai mencumbunya agar ia lepas dari
tekanan-tekanan batinnya.
Beruntunglah,
kesepian yang sering dirasakan oleh suamiku itu bisa dialihkan oleh
kesibukkan barunya membentuk kelompok sandiwara, namanya Toneel
Kelimutu. Aku tidak menduga kalo singa podium itu pandai juga membuat
cerita sandiwara, membuat dekor, malah jadi sutradara. Sampai beberapa
kali pertunjukkan Toneel Kelimutu mulai dikenal di Endeh. Tentu saja
setiap kali pertunjukan modalnya pinjam dari uang simpananku.
Tapi
tak lama, kembali kesepian melanda perasaan suamiku. Surat-menyuratnya
dengan beberapa orang di Jawa membuatnya selalu risau. Situasi politik
dan kian lemahnya organisasi pergerakan membuatnya gemas. Tapi lebih
dari itu aku mengerti benar suamiku.
Ia
amat merindukan Jawa. Rapat-rapat pergerakan, podium, pidato, tepuk
tangan para pendukung dan orang-orang yang memujanya. Sel penjara dan
pembuangan adalah siksaan baginya. Dalam kesepian dan kerisauan itulah
malaria menyerbu tubuh suamiku.
Berhari-hari
ia tergolek lemas, dan tampak putus asa. Dalam rasa putus-asa itulah
suatu kali ia berkata padaku untuk pura-pura mau bekerjasama dengan
pemerintah. Taktik agar ia segera dikembalikan ke Jawa. Aku bilang
dengan tenang padanya,
Kus,
ini bagaimana? Mengapa mesti menyerah hanya karena ujian sekecil ini?
Bukankah Kasep teh ingin jadi pemimpin? Cobaan di depan nanti akan lebih
banyak dan lebih berat lagi. Masak calon pemimpin selemah ini? Sabar,
Kasep, kudu tawakal dan kuat...
Malaria
di tubuh suamiku semakin mengganas. Dan di Volksraad, Husni Thamrin
melakukan protes keras. Ia bilang pemerintah harus bertanggung-jawab
jika Soekarno meninggal di pengasingan. Protes Husni Thamrin berbuah
manis. Datanglah sepucuk surat. Kami dipindahkan ke tempat yang jaraknya
lebih dekat dengan Jawa. Ke Bengkulu. (Lampu redup)
SEMBILAN: Inggit duduk, tampak baru saja mengerjakan sesuatu. Suara orang-orang memindahkan sesuatu dan memperbaiki rumah
Sejak
hari pertama di Bengkulu aku sudah mendapatkan kegembiraan. Orang-orang
menyambut kedatangan kami. Bahkan mereka ikut membantu memperbaiki
rumah kami di Anggut Atas. Kusno juga tampak gembira.
Endeh
meninggalkan kenangan yang menyedihkan buatku. Ibuku yang meninggal ,
keterasingan, malaria, dan kesepian yang hampir saja menghancurkan jiwa
suamiku. Bengkulu buatku adalah harapan. Kami menjadi lebih dekat dengan
Jawa dan karena itulah aku mulai melihat kembali semangat di wajah
suamiku.
Rupanya
ilmu agama yang ditekuni suamiku selama di Endeh banyak faedahnya dalam
bergaul dengan masyarakat di sini. Tapi memang suatu kali terjadi
persoalan karena paham suamiku yang menganggap orang-orang di sini
beragama secara kolot. Persoalan itu sampai membuat kami sekeluarga
sempat dijauhi masyarakat.
Aku
bilang pada Kusno, kita tak baik memaksakan kehendak kita pada orang
lain dengan sikap yang kaku. Kita harus mengajak mereka dengan
baik-baik. Ini urusan orang beragama dan keyakinannya. Bukan seperti
orang berpolitik. Untunglah suamiku bisa paham, bahwa memang dibutuhkan
cara yang berbeda dalam menghadapi dunia politik dan agama. Sejak itu
suamiku bergabung dengan Muhammadiyah. Bahkan suatu hari atas tawaran
Hassan Din, suamiku mengajar di sekolah Muhammadiyah.
Hari
dan pekan kami lewati dengan tenang di Bengkulu. Sering kami seisi
rumah berjalan-jalan ke pantai. Atau menikmati kota di malam hari.
Inggit, geura dangdos, urang jalan-jalan
Begitu ajak suamiku dengan bahasa Sunda seperti banyak diucapkan oleh orang suku Jawa (Lampu redup)
Inggit
membawa bantal dan selimut yang terlipat rapih ke dalam kamar. Keluar
lagi dan duduk sambil menjahit, atau mengerjakan sesuatu.
Tadi
sore Hasan Din kepala sekolah Muhammadiyah itu bertandang. Membawa
istri dan anak gadisnya Fatimah. Umurnya setahun lebih muda dari Omi
anak angkat kami. Hassan Din menceritakan masalah yang dihadapinya
dengan sekolah Fatimah pada suamiku, dan minta pandangan bagaimana
sebaiknya. Fatimah sudah tidak sekolah lagi, hanya giat di Nasyatul
Aisyah di dekat perbatasan Lubung Linggau dan Bengkulu. Hassan Din ingin
menyekolahkan putrinya di Bengkulu.
Atas
ajakan Omi dan kesediaan suamiku membantu, akhirnya Fatimah akan
dimasukkan ke Valkschol, tempat Omi sekolah. Malah Omi lansung mengajak
Fatimah untuk tinggal bersama kami. Begitulah, akhirnya Fatimah tinggal
bersama kami. Omi begitu gembira mendapat teman baru.
Aku
pun lalu menganggap Fatimah sebagai saudara Omi yang baru. Karena
itulah aku tak membeda-bedakan mereka. Baik Omi, Kartika, maupun
sekarang Fatimah. Tapi tak lama kemudian Fatimah pun pindah ke rumah
salah seorang saudaranya. Semuanya berlangsung baik-baik saja.
Di
Bengkulu kesibukkan suamiku sebagai guru di sekolah Muhammadiyah
membuatnya sering menghadiri berbagai pertemuan. Sesekali aku ikut tapi
tak jarang juga Kusno pergi sendirian.
Sampai
suatu hari Kusno mengajakku berbicara perihal sekolah Omi. Suamiku
ingin agar Omi sekolah di Perguruan Taman Siswa di Yogja. Aku tak bisa
membantah karena tahu benar apa dan bagaimana pentingnya pendidikan bagi
anak-anak kami di Kusno. Dan suamiku ingin agar Omi mendapat pendidikan
di sekolah yang bagus. Karena itu ia ingin agar Omi sekolah Yogja.
Keinginan
suamiku itu artinya secara tak langsung ia menyuruhku ke Yogja
mengantar Omi. Sangat tidak mungkin Kusno yang mengantarnya karena dia
itu kan orang tahanan yang diasingkan. Sedangkan melepas Omi sendirian
berangkat itu juga tidak mungkin. Apalagi sejak bayi anak itu belum
pernah sekalipun berpisah dengan kami.
Sekalian Inggit bisa mampir ke Bandung sepulang mengantar Omi
Begitu katanya, dan kupikir itu baik karena aku pun sudah rindu dengan sanak famili di Bandung.
Hari
itu berangkatlah aku dan Omi meninggalkan Anggut Atas menuju ke Yogja.
Setelah memastikan semua urusan sekolah Omi selesai, termasuk juga
pemondokkannya, aku menuju Bandung. Melepas rindu dengan kota kembangku,
dengan sanak famili.
Ada
sebulan aku meninggalkan Bengkulu. Sampai kembali ke rumah di Anggut
Atas, aku mencium sesuatu yang ganjil di setiap benda yang ada di rumah.
Pot, peralatan dapur, kursi-kursi, dan perabotan rumah rasanya
tiba-tiba menjadi lain. Bukan karena benda-benda itu bertukar tempat dan
posisi, tapi aku mencium ada sesuatu yang aneh di balik benda-benda
itu. Aku mencium bau busuk. Bau yang belum pernah kucium semasa kami di
Bandung atau di Endeh. Bau yang mengancam. Seperti bau bangkai... (Lampu redup)
SEPULUH: Inggit duduk lesu di tepi ranjang. Wajahnya kusut. Menerawang.
Aku
mulai tak hanya mencium bau busuk, tapi juga orang-orang yang berbisik
tentang suamiku. Tentang apa yang terjadi selama aku ke Yogja. Tapi aku
berharap ini hanya perasaanku saja, dan semua bisik-bisik itu pun
bukanlah sebuah kebenaran. Tapi bau dan bisik-bisik itu...
Suatu
malam aku merasa perlu menanyakannya pada Kusno. Aku ingin mendengar
bagaimana jawabannya. Dan kuharap Kusno akan mengatakan apa yang
kuharapkan, bahwa semua baik-baik saja.
Dan bisikan-bisikan orang lain itu tak usah Inggit dengar. Aku ingin dia bilang begitu.
Tapi
begitu aku akan memulainya, suamiku sedang sibuk menulis. Ia sedang
menulis sebuah karangan untuk menjawab bantahan A. Muchlis terhadap
tulisan suamiku di suratkabar Pandji Islam di Medan. Melihat
kedatanganku, suamiku malah membicarakan pendapat-pendapatnya tentang
karangannya, tentang Islam dan perubahan. Bahwa Islam haruslah menjadi
agama dinamis, tidak beku dan kolot.
Mendengar
dia begitu semangat bercerita tentang karangannya, aku jadi
terbawa-bawa sambil sesekali mengingatkan agar perselisihan pandangan
tidaklah lantas menimbulkan kebencian dan memutus silaturahmi.
Sampai
kami berdua berbaring tidur aku tak jadi membicarakan apa yang tadi
kusiapkan. Tiba-tiba saja ketika aku mengira ia sudah tidur, aku
mendengar suara suamiku
Inggit?
Ya, apa Engkus? Jawabku
Aku ingin punya anak.
Aku
terkejut, karena sekalipun sejak kami menikah ia tak pernah mengatakan
keinginannya itu. Lalu kusebut Omi dan Kartika sebagai anak-anak kami.
Meski pun mereka anak angkat.
Tapi aku ingin punya keturunan
Aku langsung terdiam.
Duh, Gusti, bau busuk itu semakin menyengat.
Bisikan-bisikkan itu kini semakin keras. Mendengung.
Gusti, ia meminta sesuatu yang tak Kau anugerahkan
padaku. Telah tiga lelaki bersamaku, tapi rahimku
seperti tanah yang tak bisa menyimpan air hujan
untuk menumbuhkan tanaman.
Tiga lelaki tak bisa menyimpan tubuhnya di tubuhku.
Aku perempuan dengan tubuh yang tak ditakdirkan
menjadi tubuh seorang ibu.
Engkus, aku kini perempuan 53 tahun.
kau meminta apa yang tak bisa kuberikan.
Bahkan sejak dulu aku memang tak pernah bisa
memberikannya.
Sekarang mengapa baru kau katakan?
Mengapa sekarang baru kau memintanya?
Engkus, kau menemukan sebuah alasan dari takdir tubuhku... (Lampu redup)
Sore. Inggit duduk sambil menjahit. Sesekali wajahnya menatap jauh ke luar jendela.
Bukan
hanya karena kepergian Omi ke Yogja sehingga sekarang rumah ini
sekarang jadi sepi. Sejak aku mendengar keinginan Kusno malam itu, ada
sesuatu yang seolah kami sama-sama menahannya. Seperti menahan sebuah
ledakan. Keadaan yang baru pertama kali terjadi di antara kami.
Suamiku
kini sering semakin sering pergi tanpa lagi mengajakku, bahkan tak
jarang ia tak mengatakan ke mana ia hendak pergi. Aku mencoba untuk
tidak berprasangka buruk. Ia mungkin mencoba menghindar dari suasana
ketegangan di antara kami. Ia mungkin ingin bicara tapi sedang mencari
waktu yang tepat. Atau mungkin ia memang sedang sibuk mengurusi
organisasi Muhammadiyah dan sekolahnya. Tapi...
Aku
maklum. Kusno masih 40 tahun. Usia lelaki yang sedang matang-matanya.
Tambahan dia tampan, pandai, dan siapa orangnya yang tak mengenal Bung
Karno. Anak dara mana yang tak terpikat olehnya. Ia kini dikelilingi
oleh bunga-bunga yang segar. Sedang usiaku sudah 53 tahun, sudah tidak
lagi seperti dulu. Kulit tubuhku tidak kencang lagi. Dadaku semakin
lisut. Dan aku tak pernah bisa memberinya seorang keturunan.
Jangankan dia, aku pun menginginkan keturunan. Tapi siapakah yang bisa menawar takdir?
Sejak
peristiwa malam itu, aku benar-benar gelisah. Naluriku sebagai istri
dan perempuan tak bisa dibohongi oleh sebuah keinginan bahwa suamiku itu
menginginkan seorang keturunan. Aku mengerti ke mana arahnya.
Kau
tahu, tak perlulah aku mendengar desas-desus orang untuk menebak dan
memastikan apa sebenarnya yang telah terjadi di belakangku. Aku sudah
hidup puluhan tahun dengan Kusno. Aku bukan hanya tahu setiap inci tubuh
suamiku. Tapi juga hafal suasana hatinya. Bahkan aku hafal benar apa
yang terkandung dalam perasaannya ketika ia menatap dan bersikap pada
seseorang.
Dua
tiga hari sejak ia tinggal di rumah kami, aku melihat kilatan yang
ganjil pada sorot mata suamiku setiap kali ia menatap anak itu. Bukan
sorot mata seorang bapak sebagaimana kami menerima anak itu sebagai
anak. Tapi sorot mata seorang lelaki memandang seorang anak dara. Aku
juga menemukan keganjilan-keganjilan lain dari perbedaan sikapnya
dibanding pada Omi. Tapi ketika itu keganjilan itu tidaklah membuatku
menjadi curiga. Ternyata semua itu benar...
(Termenung)
Rasanya aku mulai mengerti sekarang. Mengapa suamiku menyuruhku
mengantarkan Omi ke Yogja, bahkan menyarankan agar aku singgah menemui
sanak famili di Bandung. Aku mengerti sekarang....(Lampu Redup)
Inggit
berbaring di tempat tidur. Kusut, wajahnya dingin dan tegang tapi
berusaha tenang. Memiringkan tubuhnya, menghadap penonton.
Suamiku
tak bisa lagi menahan apa yang dipendamnya. Dia tadi mengajakku bicara
tentang keinginannya. Keinginan yang tak bisa didapatnya dariku. Seperti
dulu, aku selalu tahu apa yang harus kulakukan agar keinginannya itu
terpenuhi. Begitupun kini.
Kau
tahu bukan, apa artinya jika seorang suami yang mengatakan keinginannya
untuk memiliki seorang anak pada istrinya yang mandul? Dia sedang
meminta ijin padamu untuk menikah lagi. Dan aku tahu siapa perempuan
yang ingin dikawini Kusno itu. Dan aku tak tahan untuk tidak menyebut
nama itu dengan suara yang gemetar, menahan semua perasaanku,
Fatimah. Anak gadis yang kubawa ke dalam rumah kita dan sudah aku anggap sebagai anakku sendiri
Suamiku
terkejut dan ia mendesakku untuk mengatakan dari siapa aku
mengetahuinya. Aku hanya diam. Ah, lelaki, sepintar apapun dia, dia akan
mengajukan pertanyaan bodoh ketika rahasianya terbongkar. Dari mana aku
mengetahuinya, bukankah itu tidak lagi penting. Aku memandang wajah
suamiku.
Apakah benar orang itu adalah nama yang tadi kusebut?
Suamiku mengiyakan. Ia tampak berusaha untuk tenang. Aku masih memandangnya. Lalu ia bilang dengan suara yang gemetar,
Selama
ini Inggit jadi tulang punggungku, jadi tangan kananku selama separuh
usiaku. Tapi bagaimanapun aku ingin merasakan kegembiraan menjadi
seorang ayah, seorang lelaki yang meneruskan keturunannya.
Aku
terdiam. Aku mengerti dan paham benar. Karena itu aku tahu apa yang
harus aku lakukan agar keinginannya itu terpenuhi. Keinginan seorang
lelaki yang menginginkan keturunan. Lalu suamiku bertanya,
Karena itu apakah Inggit menyetujui keinginanku untuk mengawini Fatimah?
Aku
bisa saja langsung menjawabnya, karena bagiku itu adalah pertanyaan
yang terlalu mudah. Tapi aku ingin dulu diam, agar kata-kataku tidak
menyembur menjadi kemarahan. Rasanya aku tetap dengan tenang ketika
mengatakan, Tentu ia bisa kawin dengan Fatimah setelah menceraikan aku.
Suamiku terkejut. Lalu ia bilang,
Inggit, aku tidak bermaksud menceraikanmu
Mendengar omongannya itu tiba-tiba saja darahku mendidih. Aku merasa direndahkan. Aku menjawab dengan sebuah bentakkan,
Aku tidak memerlukan belas-kasihanmu, Kus!
Kami
terdiam. Suamiku lalu kembali bicara dengan suara yang lebih hati-hati,
bahwa tak ada sedikitpun dalam niatnya untuk menyingkirkanku. Bahwa
justru dia ingin menempatkanku tetap sebagai istri utama dalam kedudukan
yang paling terhormat.
Melihat
aku tetap diam, rupanya suamiku tahu seperti apa perasaanku pada
Fatimah. Ia bisa maklum hal itu. Lalu ia mengusulkan jalan tengah agar
ada keadilan di antara kami.
Sekalipun aku cinta pada Fatimah, aku akan melupakannya seandainya Inggit bisa mendapatkan perempuan yang cocok untukku.
Tak perlu lama ia menunggu jawabanku,
Tidak, Kusno...
Kalian
mungkin akan berpikir sekarang sebaiknya aku minta agar Kusno
menceraikanku dan aku pulang ke Bandung. Bukankah semuanya sekarang
sudah jadi jelas. Lagi pula, untuk apa lagi aku terus mendampingi
laki-laki yang nyata-nyata mendambakan perempuan lain untuk dikawininya.
Tidak.
Itu tak akan pernah aku lakukan. Sesakit apapun perasaanku pada Kusno
dan Fatimah, aku tak akan meninggalkan Kusno sebagai seorang tahanan dan
buangan seperti sekarang. Istri macam apa aku jika meninggalkan suamiku
dalam tahanan dan buangan. Apa pun alasannya. Tidak. Sakit sekali,
memang. Tapi aku tak mau diperbudak oleh rasa sakit itu.
Baru aku tahu sekarang, bahwa mencintai dan menyayangi itu adalah menerima rasa sakit...(Lampu redup)
SEBELAS: Suara ledakkan di kejauhan, rentetan tembakan. Inggit berjalan hilir-mudik. Gelisah dan panik
Keadaan
dalam rumah kami sama persis dengan keadaan yang terjadi di luar sana.
Perang Dunia pecah. Jepang menyerbu Indonesia dan tentara kolonial
Belanda tak bisa lagi mempertahankan tanah jajahannya. Dalam situasi
genting seperti sekarang pemerintah kolonial tak mau Soekarno jatuh ke
tangan orang-orang Jepang. Ia harus disembunyikan. Lalu tiba-tiba
malam itu polisi kolonial Belanda mengepung rumah kami. Mereka membawa
beberapa mobil. Kami dimasukkan ke dalam mobil itu. Kami dilarikan ke
luar dari Bengkulu. Sampai dini hari mobil terus bergerak. Kami
dilarikan ke Padang.
Mendengar
kota yang akan kami tuju, Kusno memandangku. Membayangkan betapa jauh
perjalanan yang akan kami tempuh. Aku balik memandang suamiku.
Menggenggam tangannya kuat, memastikan bahwa aku tak akan pernah takut
mendampinginya. Hingga siang hari, mobil terus menyusur pantai barat
Sumatera. Menyeberangi beberapa sungai besar dengan rakit. Margrib kami
sampai di kota kecil Muko-muko. Para pengawal polisi itu mempersilahkan
kami beristirahat di sebuah pesangrahan.
Pagi
harinya dari kota kecil ini kami meneruskan perjalanan. Tidak lagi
memakai mobil. Tapi kami harus berjalan kaki, dan sebuah pedati untuk
mengangkut barang. Kami berempat saja, aku, Kusno, Kartika, dan seorang
pembantu kami. Empat orang polisi bersenjata mengawal kami. Mereka juga
berjalan kaki.
Pedati
berjalan paling depan. Kami di belakangnya, di kawal polisi. Hari
cerah. Kami melewati dusun-dusun. Lalu lepas tengah hari, kami melewati
suasana yang lengang. Hanya pohon-pohon lebat. Makin jauh, mulailah
terdengar suara-suara yang seolah menyambut kami dari arah pepohonan.
Suara beruk, siamang, dan kera. Kami memasuki hutan belantara.
Kusno
memandang ke arahku. Aku memandangnya dan menunjukkan sikap tenang.
Meski sebenarnya aku ketakutan, aku tak ingin memperlihatkannya pada
Kusno. Aku lega karena ia pun tampak tenang-tenang saja.
Seharian
kami berjalan, dan baru berhenti di waktu Maghrib. Kami menemukan dusun
kecil dan menginap di sebuah gubuk yang tak terpakai. Penduduk dusun
itu menolong kami, meminjamkan cempor tikar, juga memberi beras dan ikan
asing sehingga kami bisa makan malam. Lalu mereka berbondong-bondong
datang mengirimi kami makanan. Buah-buahan dan ubi rebus. Kami
berungkali mengucapkan terima-kasih.
Dan,
kau, tahu, penduduk dusun itu melakukannya bukan karena lelaki tahanan
itu adalah Bung Karno, singa podium musuh utama pemerintah Belanda.
Bahkan, ketika Kusno memperkenalkan namanya, mereka biasa-biasa saja
mendengar nama itu. Seakan tak ada bedanya, apakah lelaki yang mereka
tolong itu bernama Soekarno atau Soeratman.
Esok
paginya kami kembali meneruskan perjalanan. Kembali masuk ke dalam
rimba belantara. Suara siamang, beruk dan kera terus bersahutan
mengiringi perjalanan kami. Bahkan dalam kelelahan dan ketakutan itu,
kami temukan juga jejak-jejak kaki harimau yang baru saja melintas.
Setelah
hampir seharian berjalan, kami merasa hutan mulai menipis. Mulailah
kami menemukan satu dua gubuk dan rumah penduduk. Menjelang Magrib kami
sampai di sebuah kota kecil. Di kota itulah pengawal polisi menyerajkan
kami ke kantor polisi. Dengan mobil dan para pengawal yang baru, malam
itu juga kami dibawa ke kota Padang.
Di
kota ini tiba-tiba saja tak ada lagi pengawalan pada suamiku sebagai
orang tahanan. Kami ditinggalkan di sebuah hotel begitu saja. Kusno
bilang, pemerintah kolonial Belanda sudah terdesak oleh bala tentara
Jepang. Mereka lari pontang panting menyematkan dirinya sendiri. Bahkan
mereka membiarkan kota Padang dalam keadaan kacau. Para pejabat Belanda
lebih memikirkan keselamatan diri dan keluarganya. Mereka tak lagi
memikirkan bagaimana menyelamatkan penduduk. Rakyat seperti ditinggalkan
begitu saja, karena mereka sangat ketakutan.
Di
Padang kami akhirnya menumpang pada keluarga dr. Woworuntu. Kenalan
semasa di Bengkulu yang kini menetap di Padang. Beberapa hari kemudian
Kusno mengatakan kami harus bersiap, karena pemerintah Belanda akan
memberangkatkan kami dengan kapal laut ke tempat pembuangan selanjutnya.
Kusno bilang, mungkin ke Suriname atau Australia. Aku pun bersiap.
Tapi
kapal yang akan membawa kami itu diserang oleh tentara Jepang dan karam
di dekat Teluk Bayur. Setelah itu pemerintah Belanda tak lagi mengurusi
kami, karena Jepang sudah mendarat di Padang. (Lampu redup)
Inggit mengerjakan sesuatu, persiapan melakukan perjalanan. Wajahnya tampak tenang dan gembira
Tadi
Kusno memberitahuku bahwa Jepang akan segera mengirim kami ke
Palembang. Di Palembang akan disiapkan kapal yang akan membawa kami ke
Jawa. Itu artinya, kami akan pulang. Aku tidak mengerti, mengapa Jepang
itu tidak langsung mengirim kami dengan kapal laut dari Padang ke Jawa?
Mengapa mesti harus ke Palembang dulu?
Entahlah. Aku tak ingin menanyakannya pada Kusno. Yang jelas, kabar itu buat kami menggembirakan. Kami akan pulang ke Jawa.
Sejak
tentara Jepang menguasai kota Padang, mereka langsung mencari Kusno.
Rupanya mereka ingin memanfaatkan Kusno untuk mendekati penduduk Hindia
Belanda. Dan Kusno juga tahu akan hal itu. Maka tak lama, Kusno pun
mendapatkan pelayanan khusus dari tentara Jepang. Termasuk sebuah mobil.
Kesibukkan Kusno berpolitik pun dimulai lagi. Termasuk
pertemuan-pertemuan dengan orang-orang pergerakkan di Padang dan
Bukittinggi.
Akhirnya
kami meninggalkan Padang, menuju Palembang. Perjalanan yang
menggembirakan karena inilah awal kami menuju Jawa. Tapi, kau tahu,
kegembiraanku tak lama. Berganti dengan persoalan lama yang muncul
kembali. Itu terjadi ketika kami singgah di Bengkulu. Kau tentu tahu apa
sebabnya. Meski aku menolak, tapi Kusno bersikeras agar kami bermalam
di Bengkulu. Aku terpaksa mengalah. Lagi pula hari sudah terlalu malam
untuk meneruskan perjalanan.
Kami
menumpang menginap di rumah seorang pengurus Muhammadiyah di Bengkulu.
Malam itu aku tidur dengan gelisah, menahan perasaanku. Kusno entah
pergi ke mana..
Sampai
di Palembang, kami disambut oleh orang-orang pergerakkan. Mereka
umumnya adalah pengikut Kusno. Seperti di Padang, Kusno kembali sibuk
mengurusi politik. Meski tentara Jepang masih berkuasa, tapi Kusno
bilang mereka tak akan lama. Kemerdekaan yang kami idam-idamkan sudah di
depan mata. Dan Kusno telah siap memimpin rakyat, seperti yang dulu
jadi cita-citanya. Cita-cita yang selalu diceritakannya padaku semasa
kami di Bandung.
Kelakuan
tentara Jepang sangatlah tidak menyenangkan. Mereka berlaku kasar pada
penduduk. Beberapa kali Kusno mengeluhkan hal ini pada pimpinan mereka.
Tapi tabiat kasar mereka tak berkurang. Malah juga menimpa kami.
Keberangkatan kami ke Jakarta mereka tunda-tunda.
Dua
bulan kami di Palembang, tanpa penjelasan kapan kami akan dikirim ke
Jawa. Kami benar-benar sudah tidak sabar. Setelah berulangkali mendesak,
akhirnya hari itu kami diberangkatkan ke Jawa. Tapi hanya dengan sebuah
perahu motor kayu. Panjangnya hanya delapan meter dengan sebuah kamar
berukuran kecil. Tak ada kapal lain.
Seperti
di Sumatera dulu, kembali kami menempuh perjalanan dan petualangan yang
mendebarkan. Dikawal tiga orang tentara Jepang, selama tiga hari kami
berlayar dan terapung-apung di laut lepas. Perahu motor kami sesekali
berhadapan dengan gelombang dan deru ombak besar. Kami
terbanting-banting. Perahu motor kami seperti hendak terbalik.
Aku
memeluk Kartika. Kami lelah dan kurang tidur. Tubuhku rasanya
betul-betul ringsek. Di tengah guncangan yang mengerikan di tengah laut
itu, Kusno sesekali memandangku dengan cemas. Aku balik memandangnya.
Melalui mataku aku mengirim pesan pada Kusno, bahwa aku masih bertahan
sampai kapan pun dalam perjalanan ini bersamanya.
Sore
hari ketiga, sampailah kami di Pelabuhan Pasar Ikan Jakarta.
Teman-teman lama seperjuangan lalu berdatangan menemui kami di dermaga.
Anwar Tjokroaminoto, Sartono, Muhammad Yamin, juga Hatta. Kami
berpelukkan. Dan yang paling membahagiakan kami adalah kedatangan Omi
anakku. Kami kembali ke Jawa. Menyusun kembali perjuangan. Kemerdekaan
sudah begitu dekat.
DUABELAS:
Inggit membuat air asam (wedang asam). Pakaiannya rapih. Sayup
terdengar suara orang pidato dalam sebuah rapat politik
Aku
merasa kembali ke masa dulu, kegairahan perjuangan. Rapat politik,
pidato Kusno yang berapi-api, tepuk tangan dan orang-orang yang
mengelu-elukannya.
Sampai
di Jakarta, tanpa menunggu waktu lama Kusno segera menemui Hatta dan
Syahrir. Kusno ceritakan padaku, bagaimana mereka bertiga kini melupakan
semua pertikaian di masa lalu. Mereka mengikat perjanjian untuk bersatu
demi kemerdekaan. Aku lega mendengarnya. Menghadapi tentara Jepang,
ketiganya menyusun siasat. Kusno dan Hatta akan masuk bergabung dengan
“Tiga A” yang dibentuk Jepang, sedang Syahrir akan menempuh jalan lain.
Tak
lama aku mendampingi Kusno melakukan perjalanan keliling Jawa Timur dan
Jawa Tengah. Seperti dulu, tak ada yang dilakukan Kusno selain
berpidato di hadapan ribuan rakyat yang menyambut dan mengelu-elukannya.
Kusno menemukan kembali semangatnya yang dulu. Bahkan kini lebih
bersemangat.
Setiap
malam ia ceritakan padaku semua rencana dan apa yang dipikirkannya.
Termasuk memanfaatkan kedekatannya dengan Jepang untuk menyiapkan
kemerdekaan. Bukan seperti apa yang diinginkan oleh Jepang. Seperti
dulu, aku hanya bisa diam mendengarkan semua ceritanya. Larut ke dalam
semangat dan keyakinannya.
Akhirnya
gerakan “Tiga A” itu dibekukan. Kusno lalu membentuk Putera, Pusat
Tenaga Rakyat. Organisasi ini bertujuan mendidik kemandirian rakyat. Aku
pun aktif di dalamnya. Tak hanya di dapur umum, tapi juga memberi
contoh bagaimana menghadapi kesulitan bahan makanan. Di halaman depan
dan belakang rumah kami, aku menanam singkong, pepaya, dan ubi jalar. Di
radio-radio umum, Kusno berpidato dan menyebut namaku untuk dijadikan
contoh perempuan-perempuan lain. Menanam jagung, pepaya, dan bahan
makanan lainnya.
Berbulan-bulan
kami tenggelam dalam kesibukkan perjuangan. Di tengah itu semua
diam-diam aku merasa betapa hubunganku dengan Kusno kian berjarak.
Sekarang aku hanya bisa mengenang saat-saat manis kami dulu di Bandung
dan di Endeh.
Aku
maklum, ia sekarang begitu sibuk dan banyak hal yang harus
dipikirkannya. Ia sekarang sudah jadi pemimpin, jadi tumpuan semua orang
di negeri ini. Tapi tampaknya bukan itu benar. Aku mencium ada sesuatu
yang tak beres dengan dirinya. Terutama dalam sikapnya terhadapku. Sikap
yang semakin dingin.
Ah,
rasanya aku mulai tahu. Badai itu akan datang lagi. Desas-desus dan
pergujingan kembali mengelilingiku, seperti ribuan lebah. Di tengah
gunjingan itu aku merasa sendirian. Orang-orang tak berani bilang apa
pun padaku, selain hanya memandangku dengan rasa kasihan. Dan aku tak
suka diperlakukan seperti itu.
Gusti, suara desas-desus itu, dan bau menyengat itu kembali. Aku diguncang dan diombang-ambing... (Lampu redup)
Inggit duduk di kursi tak jauh dari pintu yang terbuka dengan cahaya terang di luar. Sorot matanya dingin.
Aku
sudah bicara dengan Kusno. Kami harus saling memastikan. Dan kami sudah
menemukan kepastian itu. Kepastian bahwa perbedaan kami tidak bisa
dipertemukan lagi. Dia bersikukuh bahwa ia menginginkan keturunan. Nama
Fatimah disebutnya lagi setelah aku mendesaknya. Ya, dia akan tetap
mengawini Fatimah.
Aku
paham benar alasannya. Lelaki mana yang tak ingin punya keturunan,
seperti juga perempuan mana yang ingin mandul seperti aku ini. Karena
itu aku juga paham jika Kusno tak bisa menerima takdir tubuhku yang tak
bisa memberinya seorang anak. Apalagi aku sudah tua begini.
Aku
tahu diri. Tapi, bukan lantas karena takdirku itu aku harus menerima
apa yang diinginkannya. Meski sekali lagi Kusno tadi bilang bahwa aku
akan tetap menjadi perempuan dan istri utama. Tapi itu tak berlaku
bagiku. Ceraikan aku atau tinggalkan Fatimah. Harga diriku lebih utama
dari istana.
Kalau begitu. Aku minta pengertian Inggit. Perkawinan kita tak bisa lagi dipertahankan
Begitu dia bilang. Aku memandangnya dengan tenang, dan kukatakan, (Inggit melepas gelung rambutnya, membiarkan rambut kini terurai)
Baik. Dan Kus sudah tahu jawabanku sejak di Bengkulu. Kita akhiri ini semua ini dengan baik-baik
(Musik Sunda, kecapi suling yang liris menyayat)
Duh, ampun, Gusti. Dulu seseorang memasuki rumahku
Seorang lelaki yang dibawa suamiku. Lelaki muda yang tampan
dan pintar. Lelaki muda yang padanya aku jatuh cinta
Mengalahkan cintaku pada suamiku.
Kupilih lelaki itu. Dan kukorbankan suamiku.
Aku ikuti kemana pun ia pergi. Tapi kini suamiku pun
menikahi anak dara yang kami bawa
Masuk ke dalam rumah kami
Duh, ampun, Gusti. Inikah karmamu itu?
TIGABELAS:
Panggung kembali ke adegan pertama. Wajah Inggit dingin, rambutnya
tergerai. Ia memasukkan satu persatu pakaiannya ke dalam kopor. Lalu
terdengar suara seseorang seperti membacakan dongeng.
Duapuluh
tahun aku menemaninya. Mengikutinya ke mana pun. Tak pernah ada kata
lain yang diucapkannya pada kolonialisme, kecuali kata “Tidak”. Jika ia
berani mengatakan “Tidak” pada kolonialisme, mengapa aku mesti tidak
berani mengatakan hal yang sama ketika Kusno ingin menjadikan aku
perempuan sebagai sebuah koloni lelaki. Apapun alasan yang dipakainya.
Seperti
tanah air yang dibelanya, aku bukanlah sebuah koloni. Jangan hanya
karena tubuhku tidak ditakdirlan menjadi tubuh seorang ibu, lantas aku
tak berhak mengatakan “Tidak”. Dan kau tahu bukan, apa yang dia katakan
agar aku jangan mengatakan “Tidak”
“Meski aku mengawininya, tapi Inggit tetaplah wanita utama, istri utama”.
(Tersenyum dingin).
Banyak sekali sanjungan yang dibuat untuk perempuan yang mau patuh dan
diam pada kemauan lelaki. Buatku sanjungan itu adalah muslihat. Biarlah
aku tak pernah menjadi wanita utama atau istri utama karena aku telah
mengambil hakku atas kata “Tidak”. Harga diriku tak bisa ditukar dengan
sebutan apapun, bahkan dengan istana sekalipun.
Biarlah
ini pula yang menjadi ujung semua kisah perjalananku mendampingi Kusno.
Ketika ia sudah dekat dengan apa yang mimpikannya. Memimpin tanah air
di ambang kebebasan.
Sebagai
istri, tugasku sudah selesai. Dan sebagai perempuan aku sudah
menunaikan kewajibanku, mengatakan “Tidak” pada kemauan seorang lelaki
bernama Kusno. Dan demi kata itu, baik aku memilih kembali ke Bandung.
Membawa kembali peti tua ini dan semua harga diriku...
Tapi satu hal yang ingin aku katakan padamu tentang Kusno, aku tetap menyayanginya...
(INGGIT MENENTENG KOPERNYA MENUJU PINTU DENGAN CAHAYA YANG TERANG DI LUAR)**
Cilame, 2011
CATATAN : Naskah monolog ini berhutang banyak pada dua sumber utama: Kuantar ke Gerbang: Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno karya Ramadhan K.H. dan Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat karya
Cyndi Adams. Naskah Monolog ini pertama kali dipentaskan di GK. Sunan
Ambu STSI Bandung, 22 Desember 2011, produksi mainteater Bandung,
Pemain: Happy Salma. Sutradara: Wawan Sofwan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar